Utang BUMN, Jangan Lagi Menggunung
Pemerintahan baru harus menjaga kestabilan politik dan ekonomi karena bisa mempengaruhi kepercayaan pelaku pasar terhadap pasar modal Tanah Air. Pemerintah juga perlu menekan agar utang BUMN tak lagi menggunung.
Setiap terbentuknya pemerintahan baru tentu akan diiringi harapan-harapan agar ke depan bisa lebih baik. Begitu pula terhadap Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang bakal memimpin negeri ini untuk lima tahun mendatang. Salah satu harapan tersebut dilontarkan Direktur Penilaian PT Bursa Efek Indonesia (BEI), I Gede Nyoman Yetna. Ia berharap pemerintahan Jokowi jilid II bisa menciptakan iklim perpolitikan yang kondusif dan perekonomian yang stabil sehingga mendorong BUMN agar melaksanakan Initial Pubic Offering (IPO).
Kestabilan iklim politik dan ekonomi sangat diperlukan karena bisa mempengaruhi kepercayaan pelaku pasar terhadap pasar modal Tanah Air. Untuk itu, pemerintahan baru tersebut dapat mendukung dengan memudahkan akses perusahaan BUMN dalam mencatatkan sahamnya di lantai bursa melalui skema IPO. “Perekonomiam yang kondusif saat ini semoga bisa terus berlanjut sehingga diharapkan perusahaan BUMN yang private company bisa memanfaatkan pasar modal Indonesia,” tukasnya.
Jika menjadi emiten di bursa, lanjutnya, para BUMN dapat memanfaatkan sumber dana alternatif yang lebih baik dibandingkan dana yang bersumber dari perbankan. Dana pasar modal merupakan dana jangka panjang sehingga lebih tepat dimanfaatkan BUMN dibandingkan memanfaatkan dana perbankan yang berjangka pendek.
Pemerintah ke depan perlu menyelesaikan sejumlah pembangunan infrastruktur yang gencar di seluruh sektor selama 2014-2019, namun belum selesai. Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), mencatat, operasional jalan tol pada periode 2015-Juni 2019 sepanjang 985 km. Panjang jalan tol yang dibangun itu jauh lebih panjang dibanding pembangunan jalan tol selama dua periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono yang hanya sepanjang 212 Km. Hanya saja target pemerintah periode 2015-2019 mengoperasikan jalan tol sepanjang 1.852 Km. Jalan tol yang dipastikan dapat beroperasi hingga akhir tahun hanya 1.500 km.
Pembangunan jalan tol tersebut tidak hanya menyambungkan wilayah di Pulau Jawa, tapi juga dibangun di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, hingga Papua. Yang juga harus dituntaskan pemerintah baru adalah pembangunan sarana transportasi bandar udara (bandara). Presiden Jokowi menargetkan membangun 15 bandara baru selama masa kepemimpinannya. Namun hingga 2018, baru 10 bandara yang resmi beroperasi.
Begitu pula mega proyek berupa transportasi modern. Meski sudah berhasil meresmikan Moda Raya Terpadu (MRT, 24 Maret 2019, Presiden Jokowi diminta menggenjot penyelesaian proyek Light Rail Transit (LRT) Jabodebek. Traget proyek tersebut selesai 2021. Begitu pula sejumlah proyek besar pemerintah sepertih kereta cepat Jakarta-Bandung dan kereta semi cepat Jakarta-Surabaya. Penyelesaian proyek tersebut perlu “memeras otak” lantaran dana dari kantong pemerintah tak menyukupi. Pilihannya adalah menggadeng pihak swasta lokal dan asing, atau kembali membiayai pembangunan dengan dana pinjaman.
Belajar dari Proyek Infrastruktur
Pada RPJMN 2015-2019 kebutuhan dana pembangunan infrastruktur ditaksir mencapai Rp5.519 triliun, sementara APBN kita hanya mampu membiayai Rp2.215 triliun, atau 40,14 persen dari total kebutuhan dana infrastruktur. Kekurangan dana tersebut diupayakan menggunakan dana swasta sebesar Rp1.692 triliun (30,66 persen), BUMN sebesar Rp1.066 triliun (19,32 persen) serta APBD senilai Rp545 triliun (9,88 persen).
Namun tak banyak pihak swasta yang berkenan ikut dalam proyek infrastruktur tersebut. Karena itu BUMN Karya sebagai perusahaan yang dimiliki negara mendapat penugasan membangun proyek infrastuktur ini. Beberapa ekonom pun menilai proyek penugasan tersebut terkesan dipaksakan kepada BUMN Karya. Sederhana saja, bila proyek infrastruktur ini menarik tentu banyak swasta akan ikut serta. Lantaran proyek tersebut dipaksakan maka berimbas pada cash flow BUMN Karya.
Seperti diungkapkan Senior Vice President Royal Investium Sekuritas Janson Nasrial mengatakan arus kas perusahaan minus lantaran skema pembangunan proyek adalah skema turnkey atau Contractors Pre Financing (CPF). Lewat skema ini, BUMN karya bertugas mendesain, membangun hingga menyelesaikan proyek infrastruktur. Dalam skema ini, perseroan tidak selalu menerima pendapatan penuh di depan, bahkan kerap kali pemerintah baru membayar penuh ketika proyek selesai.
Permasalahan utang BUMN juga menjadi catatan lembaga rating internasional, Moody’s yang menilai utang BUMN Indonesia mengkhawatirkan dan berdampak pada adanya risiko kontijensi atau ketidakpastian terhadap Indonesia.
Periode Januari-Juli 2019 posisi utang luar negeri (ULN) BUMN naik lebih dari US$ 6,3 miliar atau 13,8 persen. Proporsi utang BUMN terhadap total utang luar negeri swasta pada Juli 2019 tercatat mencapai 26,7 persen atau naik 2,7 basis poin bila dibandingkan dengan ULN swasta pada awal tahun ini. Pada laporan tersebut ada sejumlah BUMN yang disorot Moody’s yakni PT Waskita Karya Tbk., PT Garuda Indonesia Tbk., PT Adhi Karya Tbk., PT Kimia Farma Tbk., PT Krakatau Steel Tbk dan PT Indofarma Tbk.
Pertumbuhan utang BUMN karya menduduki posisi teratas, di mana total utang WSKT yang awalnya hanya Rp9,7 triliun di tahun 2014, pada akhir Juni 2019 melesat hingga Rp103,7 triliun atau naik 970 persen dalam 6 tahun.
Namun sejumlah direksi BUMN Karya menilai utang tersebut masih dalam rasio aman. Seperti PT Adhi Karya Tbk (ADHI) dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT). Keduanya mencatatkan rasio utang terhadap modal (DER) yang cukup tinggi. DER tersebut menunjukkan tingkat utang perusahaan yang dihitung dengan membagi total utang dengan total ekuitas (yang diatribusikan pada pemilik induk).
Adhi Karya tercatat saat ini memiliki DER sebesar 137,5 persen. Namun, manajemen ADHI menyebut nilai tersebut masih dalam batas yang cukup aman untuk membiayai project-project perseroan ke depan. Direktur Utama Adhi Karya, Budi Harto
menambahkan, DER meningkat karena Adhi Karya banyak mengerjakan proyek dengan skema turnkey, artinya pembayaran baru bisa dilakukan setelah proyek rampung. Dengan demikian, masalah cashflow negatif yang menjadi tantangan perseroan dapat mulai teratasi. “Beberapa proyek turnkey ini ada penyelesaian, sehingga akan memperbaiki cashflow,” ungkapnya.
Sementara Direktur Keuangan Waskita Karya Haris Gunawan, menjelaskan DER perseroannya meningkat sejalan dengan masifnya pemerintah membangun proyek-proyek infrastruktur. Meningkatnya utang perseroan juga berimbas kian besarnya beban bunga yang harus ditanggung perseroan. Ia pun optimistis tahun ini, rasio DER akan diturunkan ke level 2,2 kali. “Target kami debt to equity ratio kalau sekarang 2,7 kali, akhir tahun 2,2 kali,” papar Haris.
Haris menambahkan beberapa alasan kenapa DER meningkat, salah satunya Waskita banyak mengerjakan proyek dengan skema turnkey, artinya pembayaran baru bisa dilakukan setelah proyek rampung. Contohnya, adalah ruas tol Jakarta-Cikampek elevated yang saat proyek konstruksinya digarap Waskita. Proyek ini akan menyumbang pendapatan Rp4,5 triliun. Sejumlah proyek yang dikerjakan Waskita adalah proyek ruas tol Trans Sumatera yang akan rampung bulan ini. Selesainya proyek ini akan menyumbang pendapatan sekitar Rp12-Rp13 triliun.