Jakarta, Bumntrack.co.id – Pengamat Ekonomi Energi dari UGM, Fahmy Radhi mengungkapkan bahwa proses tambang pasti merusak lingkungan dan ekosistem. Hal tersebut diperparah jika perusahaan tambang tidak segera melakukan reklamasi untuk mengembalikan lingkungan dan ekosistem yang ditambang.
“Semua proses tambang pasti merusak lingkungan dan ekosistem, apalagi penambang sering mengabaikan reklamasi,” kata Fahmy Radhi di Jakarta, Selasa (10/6/25).
Untuk penambangan Raja Ampat, lanjutnya, meski melakukan reklamasi sekalipun, sudah pasti akan merusak alam geopark yang merupakan ecosystem destinasi wisata Radja Ampat.
“Semua penambangan di Raja Ampat dan sekitarnya harus dihentikan secara permanen. Jangan ada lagi izin penambangan selamanya,” terangnya.
Dirinya menduga ada konspirasi antara oknum pemerintah pusat dengan pengusaha tambang sehingga destinasi wisata dijadikan penambangan Nikel. Oleh sebab itu, sudah seharusnya Kejaksaan Agung melakukan penyidikan lebih dalam terkait dugaan penyalahgunaan izin tambang Raja Ampat.
“Saya menduga ada kong kali kong alias konspirasi antara oknum pemerintah pusat dengan pengusaha tambang sehingga diizinkan penambangan di Raja Ampat, yang merupakan Strong Oligarchy. Kejagung perlu mengusut dugaan konspirasi tersebut. Kalau terbukti, siapa pun harus ditindak secara hukum,” tegasnya.
Untuk diketahui, hingga saat ini, terdapat lima perusahaan tambang yang memiliki izin resmi untuk beroperasi di wilayah Raja Ampat.
Dua perusahaan memperoleh izin dari Pemerintah Pusat, yaitu PT Gag Nikel dengan izin Operasi Produksi sejak tahun 2017 dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP) dengan izin Operasi Produksi sejak tahun 2013.
Baca: Lima Perusahaan Tambang di Raja Ampat
Tiga perusahaan lainnya memperoleh izin dari Pemerintah Daerah (Bupati Raja Ampat), yaitu PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) dengan IUP diterbitkan pada tahun 2013, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) dengan IUP diterbitkan pada tahun 2013, dan PT Nurham dengan IUP diterbitkan pada tahun 2025.