Jakarta, BUMN TRACK – BUMN, Badan Usaha Milik Negara, tentu bukan pemegang mandat pelaksanaan tjuan nomor 2 SDGs, Sustainable Development Goals, yaitu mengena Zero Hunger. Tetapi BUMN saat ini memiliki potensi yang besar untuk menjadi motor penggerak, baik sebagai entitas pencari keuntungan maupun sebagai agen pembangunan, menuju ketahanan pangan melalui kemandirian pangan maupun swasembada pangan.
Melihat sebaran BUMN di berbagai lini dalam sektor pertanian, BUMN bisa menjadi lokomotif ketahanan pangan. Yaitu kondisi terpenuhi kebutuhan pangan yang cukup, bergizi, dan aman bagi setiap warga di seluruh pelosok. BUMN sektor pertanian memiliki potensi untuk memenuhi ketersediaan pangan, akses pangan secara ekonomi dan fisik, pemanfaatan pangan secara bergizi, maupun stabilitas pangan secara berkelanjutan, baik ketersediaan pangan maupun harga pangan.
Dalam hal upaya swasembada pangan. BUMN berpotensi menjadi motor produksi pangan nasional, dengan tidak banyak bergantung pada impor. Strategi dan kebijakan yang pernah berhasil membawa Indonesia mencapai swasembada pangan, khususnya beras, pada era Presiden SUhaerto tahun 1984, kemudian mendapat penghargaan dari FAO tahun 1985, perlu dikaji ulang untuk penerapan masa kini. Strategi revolusi hijau dengan fokus peningkatan produksi pangan dan menerapkan kebijakanpenerapan teknologi pertanian modern, pembangunan irigasi besar-besaran, dan program bimbingan massal, BIMAS, mampu mendongkrak kinerja produksi pangan.
Demikian juga dengan kemandirian pangan, kemampuan untuk menghasilkan dan memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri dengan mengandalkan sumber daya domestik. Untuk mencapai kemandirian pangan, perlu strategi dan kebijakan untuk menguatkan sektor pangan domestik, keberpihakan kepada petani lokal dan masyarakat, penguatan sistem distribusi dan rantai pasok secra nasional, dan yang tidak kalah penting, perlindungan terhadap ancaman eksternal terkait kemampuan produksi dan distribusi pangan dalam negeri.
Saat ini sedang terjadi perubahan yang signifikan terkait pasokan dan kebutuhan pangan. Secara jumlah, jelas kebutuhan pangan meningkat. Faktor utamanya adalah jumlah oenduduk yang meningkat, sehingga kebutuhan pangan pun meningkat. Tingkat pendapatan tiap penduduk yang cukup baik ikut mendorong kenaikan tingkat konsumsi pangan. Penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan mendapat bantuan sehingga memenuhi kebutuhan pangan. Demikian juga dengan program MBG, makan bergizi gratis, juga menaikkan permintan.
Perubahan juga terjadi pada pola konsumsi. Dengan tingkat pendpaat per kapita yang baik, meningkatnya urbanisasi, dan perubahan gaya hidup, kebutuhan konsumsi protein meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi karbohidrat. Juga peningkatan kebutuhan makanan siap sajiyang cukup tajam. Tuntutan hilirisasi pangan tidak terelakkan lagi.
Pengaruh dari luar ikut mengibah pola kebutuhan pangan. Dan ini menjadi tantangan besar. Pengaruh budaya, yang ditularkan melalui berbagai bentuk seperti film, sinetron, musik, komunikasi media sosial, mendorong permintaan jenis makanan yang membutuhkan bahan baku dari luar, yang belum tentu cocok untuk diproduksi di Indonesia. Misalnya makanan berbasis gandum yang merajalela di Indonesia. Atau makanan berbasis beras khusus, yang juga tidak diproduksi di Indonesia. Dan makanan olahan yang mengandung komponen bahan baku dari luar.
Dari sisi produksi, ada beberapa tantangan yang dihadapi. Perubahan iklim mengganggu kemampuan berproduksi dan distribusi. Perubahan iklim seperti curah hujan, yang menimbulkan banyak banjir, pola musim, suhu yang meningkat dan dalam beberapa saat terjadi suhu ekstrim, dan juga musim kering yang menimbulkan kekeringan dan kebakaran mengurangi kemampuan produksi bila mengandalkan kemampuan pertanian saat ini.
Keamanan regional dan global mempengaruhi ketahanan pangan nasional. Sebut saja perang Ukraina – Rusia, yang sudah diketahui semua orang, yang berdampak pada ketersediaan komoditas, terutama gandum. Perlu dicatat bahwa ketahanan pangan, kemandirian pangan, maupun swasembada pangan tidak berarti kondisi tanpa impor pangan sama sekali. Kemandirian dan swasembada pangan, secara definisi, mengijinkan adanya impor. Yang penting adalah, pertama tidak bergantung pada impor. Kedua, impor diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam jumlah yang kecil. Secara operasional, impor limabelas persen masih bisa dianggap mandiri atau swaswmbada. Ketiga, impor terkadang diperlukan karena mengikuti pola musim: impor saat bukan musim panen, dan ekpor komoditas yang sama saat musim panen.
Distribusi pangan juga masih menjadi tantangan. Ketidak-merataan kemampuan distribusi secara nasional memicu ketidak-merataan pangan secara fisik dan ketimpangan harga. Ironisnya, daerah terpencil, yang dihuni oleh penduduk berpenghasilan rendah, mengalami kesulitan akses, mereka harus membayar harga pangan yang tinggi dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di perkotaan.
Apa yang bisa dilakukan sektor pangan, termasuk peran BUMN, menuju ketahanan, kemandirian, dan swasembada pangan nasional? Kerangka rantai nilai ketahanan pangan melalui kemandirian dan swasembada pangan, seperti ditunjukkan pada gambar, bisa menjadi model strtagei dan kebijakan lima atau sepuluh tahun ke depan.
Gambar rantai nilai menunjukkan, Indonesia bisa membagi rantai nilai ke dalam lima tahapan dari hulu ke hilir. Kelima tahap tersebut adalah industri dasar agro – yang menghasilkan input untuk industri agro seperti pupuk, pakan, dan bibit unggul; produksi agro – yang memanfaatkan hasil industri dasar agro untuk menghasilkan produk agro; transformasi dan hilirisasi agro – yang mengolah hasil produksi agro untuk menjadi makanan siap konsumsi; transportasi dan distribusi – yang mengurusi transportasi dan distribusi ke seluruh pengecer; dan ritel dan konsumsi – yang menyediakan kebutuhan pangan ke seluruh masyarakat dengan mudah dan harga terjangkau.
Berdasarkan industri, sektor ini bisa dikelompokkan ke dalam enam industri untuk mendukung ketahanan, kemandirian, dan swasembada pangan. Msing-masing rantai industri tersebut telah ada pelopor, champion, dari BUMN. Keenam rantai industri tersebut adalah, pertama rantai industri holtikultura, dengan produksi utama sayuran dan buahan, yang dihuni oleh BUMN seperti PT Pertani dan PT Sang Hyang Seri.
Rantai industri kedua adalah industri penghasil sumber karbohidrat termasuk padi, jagung, sagu, dan ubi-ubian, yang keempatnya telah diproduksi oleh PT Sang Hyang Seri, Rantai industri ketiga adalah industri penghasil sumber protein nabati termasuk kacang-kacangan dan kedelai, yang saat ini dihuni oleh PT Perusahaan Industri Ceres yang mengolah produk pangan dari kedelai, kcang tanah, dan biji-bijian. Rantai industri keempat berupa industri penghasil sumber protein kelautan, yang mencakup ikan tangkap dan ikan budidaya, dengan PT Perikanan Indonesia sebagai salah satu pemainnya. Rantai industri kelima adalah industri pesisir, terutama penghasil garam dan rumput laut, dengan PT Garam dan PT Rumput Luat Indonesia. Industri keenam memproduksi pangan sumber protein hewani terutama daging, telor, dan susu, dengan salah satu pemainnya adalah PT Berdikari dan PT Multi Agro Gemilang.
Di luar nama-nma BUMN yang disebutkan di atas, msih ada beberapa BUMN yang menjadi bagian dalam rantai nilai ketahanan, kemandirian, dan swasembada pangan nasional. Sebut saja berbagai PTPN yang berada di bawah pengelolaan PTPN Holding dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) yang berperan besar dalam bidang perdagangan, termasuk perdagangan pangan.
Dengan adanya FOOD ID sebagai BUMN Holding pangan, pengelolaan rantai nilai ketahanan, kemandirian, dan swasembada pangan diharapkan bisa lebih lincah, komprehensif, dan efisien. Namun FOOD ID perlu mendapat berbagai dukungan. Gambar rantai nilai menunjukkan paling tidak perlunya dukungan empat pilar. Pilr pertama berupa infrastruktur, yang mencakup teknologi pangan, SDM sektor pangan, dan irigasi. Kedua, riset dan inovasi dengan fokus pengembngan bibit unggul dan teknologi pangan. Ketiga, sistem keuangan, terutama dukungan perbankan dan asuransi. Terakhir, birokrsi dan regulasi yang cepat dan efisien.
Tentu BUMN tidak dapat memenuhi seluruh rantai nilai di keenam indistri seperti ditunjukkan dalam gambar rantai nilai. Apalagi terkait strategi dan kebijakan kemandirian pangan, keterlibatan pemain swasta maupun masyarakat menjadi kunci. Dengan demikian, kolaborsi antara BUMN dengan pihak swasta dan masyarakt menjadi sangat penting untuk memperkuat posisi ketahanan pangan. Supaya ini bisa berjalan, ukuran kinerja BUMN dalam aspek sosial dan peran agen pembangunan perlu dirumuskan lebih baik dan menjadi bagian dari IKU, indicator kinerja utama, atau KPI, key performance indicators.

Ditulis oleh:
Bramantyo Djohanputro – Dewan Pakar BTA Academy