
Jakarta, Bumntrack.co.id – Salah seorang teman professor diaspora bidang manajemen di salah satu Negara benua Eropa tiba-tiba berkirim pesan chat WA kepada saya kemarin. Tahu nggak bro, setelah direnungkan mendalam ternyata COVID – 19 (Baca: Corona Virus – versi mutasi tahun 2019) ternyata merubah banyak teori manajemen.
Salah satunya adalah CORE COMPETENCIES. WOW, batin saya sambil menerawang ke masa lalu. Bahwa apa yang saya ajarkan di topik- topik HRD selama ini adalah framework core competence, hingga konsep perdagangan berbasis keunggulan absolut dan spesialisasi pekerjaannya dari pakar ekonomi ADAM SMITH.
Saya menjawab opini teman tadi dengan mengatakan bahwa mungkin tidak semua Negara yang akan melakukannya, sebagai contoh Negara maju seperti Jepang dan Amerika pasti akan merelokasi pabriknya menuju Negara yang mampu memberikan KEUNGGULAN KOMPARATIF sebagaimana antitesis teorinya Adam Smith dari DAVID RICARDO.
YESS, kata sang professor teman, yang jelas sekarang semua Negara sudah berpikir ulang (RETHINKING) tentang WHOLE INDEPENDENT PRODUCTION. Kenapa demikian? Putusnya rantai produksi akibat dominannya ketergantung dunia industry global pada produk-produk komponen China, mengakibatkan kemacetan produksi di dunia selama COVID.
Pola pikir Global Supply Chain ini sebenarnya diakibatkan dunia membenarkan serta mengikuti konsep core competence, dimana harga bersaing/murah menjadi KPI satu-satunya. Padahal KPI availability (ketersediaan) harus menjadi KPI counter dari KPI affordability (harga yang wajar).
Jadi Negara-negara maju, yang dipimpin AS, memang sangat cerdik dalam hal menjual produk-produk industrinya. Pada sisi TANGIABLE PRODUK dimana mereka menghasilkan produk riil, maka langkah strategis yang dikembangkan adalah berinovasi sedemikian rupa agar produknya bisa diterima pasar semua Negara.
Dalam hal melindungi masuknya produk pesaing dari Negara lain (entry to barrier), mereka menggunakan sertifikasi kelaikan. Misal untuk dunia penerbangan/medis, sertifikasi bisa mengikuti acuan protokol yang dibuat oleh asosiasi/federasi yang berpusat di negara-negara maju, yang kemudian dikloning cabang-cabangnya di negara berkembang melalui kerjasama dengan akademisi dan asosiasi professional untuk menciptakan persyaratan ketat bagi masuknya industri pesaing yang tidak dikehendaki induknya di negara maju.
Dengan kata lain, banyak pemikir dan konseptor di dalam negeri ini tanpa sadar, ataupun menikmati juga menjadi PION bagi produk asing tersebut.
Pada sisi INTANGIABLE PRODUK, mereka berusaha membangun framework bisnis, baik ekonomi maupun manajemen, sehingga keputusan-keputusan di level Negara target sesuai dan mendukung produk mereka.
Melalui apa? Framework bisnis ditanamkan dalam level-level model manajemen yang diajarkan di Perguruan Tinggi dengan textbook acuan yang merefer teori dari Perguruan Tinggi terkemuka seperti MIT, Harvard dll.
Tujuannya agar mindset setiap lulusan sesuai dengan konsep yang mereka desain untuk membantu produksi Negara maju. Apalagi nanti kalau lulusan tersebut menjadi pejabat tinggi atau politisi, mereka akan panen dukungan keputusan yang secara tidak sadar dibuat karena pengaruh framework yang sudah ditelan sejak kuliah hingga level Doktoral.
Untuk tetap memelihara mindset tersebut dikalangan akademisi pengajarnya, dibuatlah momen internasional conference hingga syarat kenaikan pangkat berbasis jurnal Internasional terindeks minimal SCOPUS.
Kenapa akhirnya saya punya hipotesis seperti ini? Agak lama kalau menjelaskan satu persatu contoh framework manajemen dan kemungkinan desain titipan dari Negara maju seperti AS misalnya. Oleh karena itu, Negara maju dengan kapasitas dibawah AS seperti Jepang tidak terlalu peduli dengan penjurnalan internasional dan ranking internasional yang dibuat sistem AS.
Runtuhnya teori-teori PRA COVID-19 ini berdampak positip dengan tumbuhnya SEMANGAT MANDIRI, plus naiknya spirit SWASEMBADA.
Dan ini relevan dengan konsep KETAHANAN NASIONAL. Konsep KETAHANAN NASIONAL ini sebenarnya sudah digaungkan sejak tahun 70 an oleh LEMHANAS, tapi tidak menemukan momen yang tepat sebagaimana era COVID pandemi ini.
Saat krismon dan disusul era reformasi 2008, malahan konsep ketahanan ini tenggelam karena pakar-pakar ekonomi pada menggunakan konsep CORE COMPETENCE agar ekonomi bangkit secara cepat dan politik stabil.
Oleh karena itu, pada saat momen COVID – 19 kita wajib mulai kembali melirik ekonomi kerakyatan ala MUBYARTO UGM, ataupun membangun Industri kita sebagaimana konsep BJ HABIBIE dan BANGUN INDUSTRI NASIONAL, konsep bagus yang hanya menjadi tumpukan buku dan wacana di seminar-seminar.
Ataupun kita juga melirik konsep pertumbuhan bisnis INCREASING RETURN-nya BRIAN ARTHUR dari HARVARD (1996).
Konsep ini sangat bagus sekali untuk pertumbuhan daya saing, sayangnya tidak dipopulerkan lagi oleh Harvard via jurnal-jurnal maupun seminar Internasionalnya. Kenapa? Hipotesis saya adalah bisa jadi kalau framework ini ditiru dan menjadi mindset bisnis banyak Negara berkembang, maka akan bikin senjata makan tuan bagi AS (smile).
Siapa yang perlu me-LEVERAGE semangat SPIRIT KEMANDIRIAN menuju KETAHANAN NASIONAL ini? Pada momen menyambut HARDIKNAS hari ini, 2 MEI 2020, kita perlu mendorong mas Mentri Nadiem dari KEMEDIKBUD untuk mewujudkan spirit dan karakter yang tepat, sementara implementasinya di Industri adalah melalui tangan kuat dari Pak Erick Thohir, MENEG BUMN.
Semoga semangat kemandirian ini tetap berlanjut, dan tidak sekedar hangat di awal. Kenapa? Karena era COVID -19 ini rasanya hanya bisa DIMINIMALISIR dampaknya dengan mengubah perilaku kita (BACA: https://armantalk.wordpress.com/2020/05/01/disinformasi-pandemi-di-era-vuca-belajar-mandiri-untuk-sehat-melawan-corona/), bukan DIHILANGKAN.
Kita semua tahu bahwa virus ini adalah mutasi dari SARS (2008) hingga MERS (2015), dan sebagaimana pendapat pakar biologi bahwa ini adalah virus pintar, maka hanya perubahan perilaku kita sajalah yang menentukan apakah 5 atau 10 tahun lagi virus ini akan bermutasi menjadi pandemik lagi atau tidak. Saatnya mengambil momen untuk berubah menjadikan INDONESIA MANDIRI.