KOLOM PAKAR

Digital Mastery, Transformasi BUMN dan Era New Normal (Bagian I)

Oleh: Priyantono Rudito, Ph.D

Direktur HCM Telkom 2012-2014
Direktur HCM Telkomsel 2015-2017
Tenaga Ahli Menteri Pariwisata RI 2017-2019
Dosen Telkom University, Penulis Buku Digital Mastery

Sejak tahun 2017, saya selalu hadir memenuhi hampir seluruh undangan untuk menjadi pemateri di program Expand Leadership for BoD/BoC yang diikuti secara bergantian oleh jajaran  Direksi dan Komisaris BUMN. Program ini diselenggarakan oleh CLDI (Corporate Leadership Development Institute). Materi yang saya bawakan adalah Memimpin Transformasi Digital untuk memenangkan Era Disrupsi Digital.

Ada dua hal menarik yang selalu terjadi. Pertama, waktu yang dialokasikan oleh pihak CLDI selalu tidak cukup karena dinamika sesi pemaparan dan diskusi yang begitu hangat. Kedua, karena waktunya tidak cukup, di minggu-minggu berikutnya selalu ada undangan kepada saya untuk hadir di berbagai BUMN untuk melakukan hal serupa dengan waktu yang lebih longgar dan jumlah peserta yang lebih banyak. Tentu saja, jadwal yang harus dijalani tidak memungkinkan saya untuk dapat hadir fisik di setiap BUMN yang mengundang. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk meringkas dan menuliskan materi yang saya bawakan tersebut di BUMN Track ini, dilengkapi dengan hasil diskusi yang konstruktif dengan para peserta, dengan harapan dapat menjangkau rekan-rekan pimpinan dan profesional BUMN secara lebih luas.


Lahirnya Strategic Digital Gap

Hari ini kita tengah disibukkan dengan krisis wabah Covid-19 yang telah meluluh-lantakkan ekonomi dan bisnis. Namun, adanya Covid-19 telah mempercepat adaptasi digital di masyarakat. Wabah Corona pun turut menciptakan sebuah era baru di mana kita akan menghadapi sebuah kenormalan yang baru atau new normal, yang dipercaya akan pula diikuti oleh fenomena Next Normal dan Future Normal.

Terkait dengan new normal, pada sebuah event yang cukup prestisius, ketika menjadi proponen Doktor di Binus, saya menyampaikan bahwa kita sekarang sedang menghadapi kelahiran (yang sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir) apa yang saya sebut sebagai strategic digital gap.

Untuk menggambarkannya, saya meminjam model dari Deloitte. Saat ini terjadi sebuah gap, di mana sebelumnya adalah in-terms of value, antara value dari perusahaan yang bisnisnya dikelola secara incremental atau linier, dengan yang dikelola dengan cara eksponensial.

Saya mengambil contoh dari beberapa industri untuk melakukan validasi adanya gap ini. Setelah saya ukur dengan data yang ada, gap yang ada, by value, minimal 14 kali bahkan bisa lebih untuk industri tertentu. Sebelumnya gap ini tidak pernah ada, karena tidak ada enabler-nya, yaitu kemajuan super pesat teknologi digital.

Inilah konteks stratejik yang harus disadari oleh para pimpinan BUMN. Ada tiga hal yang penting untuk dicermati. Pertama grafik ke atas dari model tersebut ternyata tidak hanya in-terms of value, tapi juga organic revenue dan jumlah customer.

Poin kedua adalah, sebelum gap ini lahir, cara kita berbisnis seolah hanya ada satu cara dalam mengelola bisnis, yaitu dengan cara incremental way of thinking. Bahwa bisnis itu dikembangkan secara bertahap. Paling mudah tercermin dari capital expenditure, 10 % lebih saja sudah sangat bagus. Kelak pemikiran secara incremental seperti ini disebut sebagai best practice.

Kalau ada yang berpikiran tidak sesuai dengan best practice, cara berpikir seperti itu akan selalu diabaikan, atau bahasa gaulnya “EGP” saja. Namun, ternyata ada cara berpikir yang tidak incremental, saya menyebutnya sebagai cara eksponensial.

Cara berpikir eksponensial adalah tidak berpikir prosedural, business as usual, atau konvensional. Dalam jangka waktu yang cepat bisnis kita harus bisa melampaui market-leader. Kalau tidak berhasil atau gagal, maka kegagalan nya harus terjadi cepat (fail fast).

Salah satu ciri berpikir eksponensial adalah dengan berpikir anti kemapanan, gemar membolak-balik logika bisnis. Dulu harus mendaftar berlangganan, sekarang tidak perlu. Dulu harus masuk ke dalam sistem yang formal, sekarang tidak perlu.

Hingga muncul poin ketiga, yaitu crossing atau cara berpikir seperti itu terbukti. Awalnya hanya dari cara berpikir bisnis, sekarang menjadi sebuah kenyataan.

Akselerasi Digitalisasi: Menjadikan BUMN Future Proof

Saya mengambil contoh di industri pariwisata, Online travel agent (OTA) seperti Traveloka atau Tiket.com telah mendisrupsi agen perjalanan konvensional. Survey yang dilakukan DailySocial id tahun 2018 tentang Airline Ticket Survey 2018 “Direct Booking vs OTA” menunjukkan: 92 % responden melakukan reservasi secara online, dan 8 % offline.

Traveloka telah di-download sebanyak 40 juta kali (Juli 2018) dan dikunjungi 15.75 juta visitor (November 2018). Begitu pula Tiket.com dengan 17 juta download dan 9 juta visitor pada periode yang sama.

Sementara pada tahun 2018 Anggota association of Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA) tidak lagi menjual tiket pesawat. Mereka fokus pada inbound dan domestik travel. Pada Januari 2019, 3 %travel agent anggota Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) atau 100 travel agent tutup karena tidak dapat bersaing dengan OTA.

Bagaimana dengan industri lain?

Mari kita lihat di industri pendidikan. Salah satu best practice di industri ini yang kita tahu adalah Universitas Michigan sebagai kampus yang terbaik dan tertua. Kampus ini sudah berdiri sejak tahun 1817 dengan jumlah mahasiswa eksisting 46.000 orang (2018) dan 275 program studi dari sarjana hingga doktoral.

Selama bertahun-tahun, perguruan tinggi diselenggarakan dengan cara konvensional atau business as usual. Namun, pada tahun 2012 berdirilah sebuah “perguruan tinggi” bernama Coursera dengan jumlah “mahasiswa” mencapai 40 juta (pengguna). Dengan jumlah kursus mencapai 3.200, kita bisa belajar apapun dari marketing hingga keuangan semuanya tersedia.

Berangkat dari ide awal yang sederhana, Coursera memanfaatkan sebuah komoditas yang selama ini agak diabaikan oleh Perguruan Tinggi konvensional, yaitu catatan atau materi kuliah para Profesor-nya. Catatan kuliah memiliki value yang luar biasa yang bisa dijadikan unique selling proposition bagi perguruan tinggi.

Dengan cerdik Coursera mengumpulkan ribuan “catatan tersebut”, tidak tanggung-tanggung dari kampus-kampus terbaik seperti Harvard, Michigan hingga Oxford University. Catatan-catatan tersebut didigitalisasi, dilengkapi dengan konten yang diproduksi oleh satu team cendikia, ditawarkan secara online dan banyak program gratis. Sertifikasi biasanya memiliki biaya satu kali.

Maka, ketika kita membandingkan jumlah pengguna atau “mahasiswa” antara Coursera dengan Michigan University mencapai ribuan kalinya, tergambarlahstrategic digital gap di dunia pendidikan.

Setali tiga uang, dunia perbankan juga terjadi gap serupa. Menurut data dari Bank Indonesia tentang volume transaksi belanja dan nilai transaksi di Indonesia lima tahun terakhir, membuktikan hal ini. Uang elektronik yang dibangun dengan cara berpikir eksponensial, tumbuh dengan CAGR 91 % dari volume transaksi, dan 113 % dari nilai transaksi.

Jika dibandingkan dengan layanan konvensional yang sudah menjadi best practice di industri ini, yang dibangun dengan cara berpikir incremental, CAGR-nya sudah sangat melandai dalam lima tahun terakhir.

Lalu, bagaimana dengan industri telekomunikasi?

Bisnis legacy di telekomunikasi (voice, sms, interconnection) secara CAGR turun 5 % dalam hal value dan revenue-nya. Terjadi gap luar biasa yang diciptakan oleh layanan baru yang di-deliver oleh pemain OTT (over-the-top) dengan CAGR 14%. Pemain OTT dengan layanan platform dan digital seperti Amazon, Alphabet, hingga Alibaba telah membuktikan digital gap di bisnis telekomunikasi. Jika dinormalisasi dari titik nol, gap dari growth antara keduanya hampir 20 kali-nya.

Sehingga apa yang kita hadapi sekarang adalah bagaimana menyikapi adanya digital gap ini. Jika kita ingin melihat BUMN tetap berjaya di era digital, maka kita butuh manajemen atau pimpinan yang bisa menyikapi agar gap tidak semakin membesar.

Karenanya, konsekuensi yang terjadi adalah bagaimana membuat organisasi di BUMN future-proof atau future-ready. Caranya adalah dengan membuat perusahaan atau BUMN tumbuh secara eksponensial, yaitu dengan cara membangun DNA terbarukan (Self Renewable DNA) yang dilakukan melalui transformasi digital. Dengan  demikian, tantangan terbesar bagi pimpinan BUMN sekarang adalah bagaimana melakukan dua hal yang sulit dilakukan dalam waktu bersamaan, yaitu belok (transformasi digital) tapi tanpa rem. Melakukan transformasi digital adalah change management yang sangat radikal. Para pimpinan BUMN harus memikirkan bagaimana membuat perusahaan secure, survive sekaligus sustain di saat bersamaan.

Model 3D: Digital Imperative, Decoding, Digital Transformation

Mengutip Vulling, pada hakikatnya transformasi digital itu secara filosofis ibarat kita pindahan dari rumah lama ke rumah baru. Rumah lama adalah best practice, sedangkan rumah baru adalah next practice dan kerap tidak ada “best” nya. Teknologi digital akan memungkinkan seluruh pemikiran segila, seradikal dan seinovatif apapun bisa terwujud. Kita akan berhadapan dengan fenomena yang selalu baru, maka transformasi digital adalah berpindah-pindahnyabest practice ke next practice dari waktu ke waktu dalam waktu yang relatif lebih singkat.

Syarat untuk berpindah ke next practice cukup menantang. Syarat pentingnya adalah, kita harus “turun ke bukit” dulu yang bernama self disruption. Bahasa mudahnya adalah melakukan kegilaan-kegilaan atau ketidaklumrahan atas model bisnis kita sekarang dan juga terhadap berbagai aspek pengelolaan organisasi korporasi saat ini. Ini yang menjadi (sangat) tidak mudah untuk dilakukan.

Dengan filosofi inilah, saya menawarkan formula untuk transformasi digital yang saya sebut dengan model 3D. Model 3D ini lahir sebagai hasil diskusi saya dengan pak Doktor Arief  Yahya, Msc., mantan Menteri Pariwisata yang juga seorang begawan Manajemen dan Leadership.  Dengan model 3D ini, Shifting dari best practice ke next practice bisa dijalankan dengan mengimplementasikan Digital imperative, Decoding bisnis, dan Digital transformation multidimensional.

Imperative adalah sebuah keharusan. Dari hasil riset yang dilakukan Westerman, terhadap hampir 200 perusahaan dengan revenue di atas US $ 500 juta, menunjukkan insight yang menarik. Dengan matriks yang terdiri dari dua dimensi yaitu digital capability (aspek teknologi) dan digital leadership (aspek manusia).

Dengan menggunakan dua dimensi ini, muncul 4 kuadran. Dari matriks tersebut ada 3 kondisi yang terjadi. Pertama adalah perusahaan yang tidak melakukan transformasi (DC low – DL low) revenue-nya akan minus 4% dan profitnya minus 24%.

Kondisi kedua adalah yang melakukan transformasi secara setengah jalan, yaitu melakukan ke atas saja (DC) atau ke kanan saja (DL). Kalau ke atas saja namanya shopping technology, dengan kondisi tersebut revenue masih akan naik 6% tapi profitnya bleeding minus 11%. Hal ini terjadi karena capex-nya disconnected dengan bisnis atau bahasa mudahnya nice to have. Sebaliknya jika kita hanya mentransformasi orangnya saja (DL), revenue-nya akan minus 10% walaupun masih memungkinkan profitnya naik 9% tetapi semu. 

Maka yang harus dilakukan adalah dengan transformasi secara penuh, baik dimensi teknologi maupun orangnya yang saya sebut dengan digital mastery. Hal ini memungkinkan untuk kenaikan revenue sebesar 9% dan kenaikan profit hingga 26%.

Westerman, Bonnet & McAfee, 2014

LEADING DIGITAL Turning Technology into Business Transformation

Untuk D yang kedua, saya menawarkan, untuk menuju new normal di era Covid-19 adalah dengan melakukan decoding bisnis. Kita harus melakukan decoding ke arah yang benar, yang menjadikan bisnis berada era nya dan di masa depan: di era new, next dan future normal. Dari gambar analisis yang dilakukan DCode di bawah ini adalah bagaimana decoding bisnis dari lingkaran berwarna merah (potential losers) ke lingkaran yang berwarna hijau (potential winners). Decoding harus dilakukan dengan me-leverage Core Competence dan Core Business kita, melalui inovasi-inovasi Model Bisnis.

D yang ketiga adalah melakukan transformasi digital secara multidimensional. Apa saja yang harus di-transform? Merangkum dari beberapa konsultan ternama global, sebut saja McKinsey menitikberatkan pada organisasi dan model operasi bisnis. Deloitte menekankan pada proses bisnis atau cara bekerja. Sedangkan AT Kearney menyebut pentingnya mentransformasi teknologi, dan Gartner menekankan pada IT dan model bisnis. Artinya, mereka menyebutkan untuk shifting ke next practice itu harus di-transform secara multidimensional.

Artikel Terkait

Back to top button