BERITA

IISIA: Utilisasi Industri Baja Nasional Semakin Menurun

Produk Blast Furnace yang berupa hot metal (baja cair panas) telah mengalir dan mampu menurunkan konsumsi listrik dan elektroda
Produk Blast Furnace yang berupa hot metal (baja cair panas) telah mengalir dan mampu menurunkan konsumsi listrik dan elektroda

Jakarta, Bumntrack.co.id – Langkah yang diambil Pemerintah untuk mengendalikan importasi dan memberikan perlindungan terhadap industri nasional melalui pemberlakuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 110 Tahun 2018 (Permendag No.110/2018) tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya sudah sangat baik, tetapi implementasinya masih perlu ditingkatkan.

Di tengah gencarnya proyek infrastruktur di Indonesia, utilisasi produsen baja nasional dari hulu hingga hilir cenderung rendah. Rendahnya utilisasi produsen baja dalam negeri dapat dilihat dari tren importasi besi dan baja yang terus meningkat sebesar 12 persen dalam 3 tahun terakhir hingga 2018. Sementara utilisasi pabrik baja masih dibawah 50 persen. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik sampai dengan Juni 2019, besi dan baja termasuk dalam 4 besar komoditi impor yang masuk ke Indonesia. Hal tersebut telah berpengaruh terhadap defisitnya neraca perdagangan Indonesia.

Dalam kaitannya dengan usulan yang diungkapkan oleh Bank Dunia perihal penghapusan Pertimbangan Teknis dari Kementerian Perindustrian serta penghapusan skema pemeriksaan sebelum pengiriman (pre-shipment inspections) akan memperburuk kondisi yang dialami industri dalam negeri, khususnya baja sebagai salah satu industri dasar, mengingat praktek circumvention (pengalihan kode HS) masih banyak dilakukan oleh importir agar terbebas dari tarif bea masuk yang diatur Pemerintah Indonesia. Jika hal-hal tersebut dihapus, produk baja impor paduan (baja boron) akan leluasa masuk pasar dalam negeri.

“Saat ini importasi produk baja tidak hanya menyerang industri baja hulu saja, tetapi juga industri baja hilir/produk barang jadi dengan kualitas yang rendah dan tidak standar. Hal ini telah menyebabkan tergerusnya pangsa pasar produsen baja nasional, sehingga dibutuhkan upaya perlindungan industri yang diterapkan secara merata dari hulu hingga hilir,” kata Silmy Karim, Chairman Asosiasi Industri Besi dan Baja Nasional/The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (11/10).

Menurutnya, bentuk perlindungan Pemerintah terhadap industri dalam negeri adalah dengan menerapkan bea masuk trade remedies dan Non Tariff Measures seperti halnya penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI).

“Penerapan bea masuk trade remedies seperti Anti Dumping, Anti Subsidi, maupun Safeguard perlu diterapkan oleh Pemerintah Indonesia dari produk hulu hingga produk hilir. Hal ini dikarenakan bea masuk umum/Most Favoured Nation (MFN) yang saat ini diberlakukan sebagai tariff barrier ternyata tidak efektif karena masih dapat ditembus oleh bea masuk yang disepakati dalam Free Trade Agreement (FTA), sehingga penerapan bea masuk trade remedies (Anti Dumping, Anti Subsidi, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan/Safeguard) merupakan instrumen yang efektif untuk melindungi industri dalam negeri dari serangan produk impor, khususnya importasi produk baja dengan cara unfair trade. Sementara, penerapan SNI sebagai salah satu Non Tariff Measures harus diberlakukan secara wajib, bukan malah dihapus. Karena ini terkait dengan keamanan dan keselamatan pengguna baja, membendung impor dan mendorong industri dalam negeri menjadi industri yang berkelanjutan,” jelasnya.

Dalam paparannya yang disampaikan dalam acara FGD di KADIN Indonesia, Silmy menyatakan bahwa perlindungan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia baik secara tarif maupun non-tarif (non-tariff measures) sangat penting peranannya terhadap keberlangsungan industri nasional sebagai upaya untuk mendukung dan melindungi produsen domestik dengan menghambat/mengendalikan masuknya produk asing ke pasar domestik dan meningkatkan penggunaan produk dalam negeri.
“Kecenderungan setiap negara sekarang adalah proteksionisme. Mereka berupaya memproteksi industri dalam negerinya, bukan malah membuka bebas akses importasi. Diketahui bahwa Amerika Serikat mulai mengenakan tarif impor untuk produk baja sebesar 25% dan alumunium sebesar 10% dan merupakan negara teraktif dalam menerapkan Trade Remedies. Sementara itu negara – negara lain seperti Uni Eropa dan Turki telah melakukan upaya pengamanan pasar domestiknya dengan melakukan Safeguard terhadap impor baja,” tambahnya.

Sebagaimana kondisi tersebut, Silmy menyampaikan saat ini salah satu produsen baja dalam negeri tengah mengupayakan pengenaan bea masuk anti subsidi atas produk baja impor kepada negara asal impor terbesar, yaitu RRT.

“Kami juga ingin mengapresiasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) yang telah menyambut baik pengajuan petisi Anti Subsidi atas produk Hot Rolled Coil (HRC) dari RRT yang diajukan oleh salah satu produsen baja nasional, yaitu PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Pengajuan petisi Anti Subsidi tersebut merupakan yang pertama kali dilakukan oleh industri dalam negeri, maka itu kami ingin meminta dukungan dari Pemerintah agar upaya tersebut dapat ditindaklanjuti sebagai langkah positif perlindungan terhadap industri nasional,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Back to top button