Jiwasraya Optimis Industri Asuransi Jiwa Terus Bertumbuh, Ini Tantangannya
Jakarta, Bumntrack.co.id – Direktur Kepatuhan dan Sumber Daya Manusia sekaligus Anggota Tim Percepatan Restrukturisasi Jiwasraya, Mahelan Prabantarikso menungkapkan bahwa dampak pandemi Covid-19 bisa mempercepat digital information di segala sektor.
“Sebelum ada Covid-19 ada hal yang tidak bisa dilakukan, ketika terjadi pandemi akhirnya sekarang menjadi bisa dilakukan. Misalnya, sebelumnya online meeting seperti zoom tidak dilakukan, sekarang menjadi pesaing sektor transportasi. Dengan online meeting, proses bisnis bisa dilakukan secara cepat dan tidak perlu datang ke suatu lokasi. Begitu pula dengan perusahaan asuransi, selain ada keinginan klaim meningkat, dengan adanya pandemi memberikan peluang lain karena nasabah cenderung ingin tahu seberapa penting asuransi,” kata Mahelan Prabantarikso dalam seminar online dan Bedah Buku dengan tema “Rapuhnya Tata Kelola Asuransi dan Dampaknya Terhadap Industri Keuangan di Indonesia” di Jakarta, Rabu (10/3).
Menurutnya, potensi industri asuransi jiwa di Indonesia masih berpotensi untuk terus bertumbuh. Penetrasi asuransi jiwa berdasarkan statistik yang ada hanya 1,1 persen. Berdasarkan market share industri asuransi masih didominasi oleh asuransi jiwa sebanyak 45,4 persen. Historikal pertumbuhan premi dan pendapatan premi asuransi jiwa dibanding tahun sebelumnya cenderung meningkat. Meskipun pendapatan premi asuransi jiwa mengalami penurunan pada awal pandemi, namun pada bulan Juni mengalami pemulihan yang cukup cepat.
“Faktor makro lainnya yaitu tren konsumen juga semakin membaik. Vaksinasi yang dilakukan pemerintah memberikan kepercayaan masyarakat untuk berusaha kembali. Harapannya pada 2021, bisnis kita berjalan seperti tahun-tahun sebelumnya,” jelasnya.
Sisi lain, industri asuransi memiliki beberapa tantangan antara lain rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap asuransi. Indonesia memiliki jumlah penduduk besar dan kelas menengah. Namun, penetrasi asuransi cukup rendah hanya 1,1 persen sedangkan ASEAN sudah mencapai 20 persen. Hal ini karena kepercayaan masyarakat belum tinggi.
“Selain itu, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian. Industri Asuransi memang banyak yang tertinggal dari praktek GCG yang baik. Di sektor Perbankan sudah menerapkan manajemen risiko sejak 1998-1999. Namun, nampaknya industri asuransi baru membenahi diri,” jelasnya.
Dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM), agen perusahaan asuransi harus mampu menjelaskan skim-skim asuransi, baik dari benefit maupun risikonya secara sederhana. Selama ini, SDM pelaku industri asuransi masih berkeinginan untuk menjadi perusahaan asuransi atau perbankan yang lebih mapan. “Sebaiknya ada sertifikasi karena SDM agen asuransi karena kemapapuan mereka tidak standar,” terangnya.
Tantangan selanjutnya yaitu kesempatan untuk berinvestasi. Asuransi bukan hanya menyediakan skim kesehatan maupun jiwa tetapi juga untuk investasi. Maka dari itu, sebaiknya masyarakat perlu disosialisasikan lebih lanjut apa saja benefit yang didapat dari berasuransi.
Sebelumnya, sebagai lesson learn berbagai kasus asuransi, Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mencatat setikdaknya ada lima hal yang menjadi perhatian. Lima hal mulai dari pembiaran tata kelola yang buruk, lemahnya pengawasan, transparansi, sistem deteksi terkait mitigasi risiko dan aspek literasi kepada masyarakat.
“Ada praktek pembiaran tata kelola yang buruk dan rendahnya kepatuhan industri asuransi terhadap regulasi, misalnya rangkap jabatan. Selain itu, banyak berkembang unit link daripada unit tradisional. Tata kelola yang buruk juga terlihat dari penempatan dana yang berisiko,” jelasnya.
Menurutnya, lemahnya pengawasan investasi yang dilakukan terlihat dari pembiaran terhadap investasi industri asuransi. Lesson learn dari kasus sebelumnya, transparansi dalam pengelolaan keuangan belum dilakukan secara baik. “Laporan keuangan hanya ringkasan saja, sehingga debitur tidak memperhatikan dikemanakan uang mereka,” terangnya.
Dari sisi aspek literasi kepada masyarakat, berdasarkan data asosiasi asuransi pada September 2020, masyarakat terproteksi asuransi hanya 58 juta jiwa, nilai tersebut menurun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.