
Jakarta, BUMN TRACK – Istilah ‘Sapi makan Sapi’ cukup tenar bagi peternak sapi di Gunungkidul Yogyakarta. Istilah tersebut dapat diartikan sebagai menjual sapi untuk membeli pakan sapi lainnya ketika musim kemarau tiba. Pasalnya, ketika musim kemarau, pakan untuk hewan ternak berkurang drastis akibat minimnya tanaman yang bisa digunakan sebagai pakan.
“Disini ada istilah ‘Sapi makan Sapi’. Ketika masuk musim kemarau maka pakan sapi menjadi sedikit. Sehingga peternak sapi menjual sapi untuk membeli pakan untuk dimakan sapi lainnya,” kata Sekretaris Perusahaan PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI), Mamit Setiawan di Gunungkidul DI Yogyakarta.
Melihat hal tersebut, PLN EPI melakukan program cofiring dengan memanfaatkan bahan baku dari limbah pertanian, perkebunan dan perhutanan serta penanaman di lahan kritis.
“Salah satu tanaman yang cocok di Gunungkidul adalah Indigofera. Kita tanam mulai musim kemarau hingga enam bulan, tanaman itu tetap tumbuh subur,” terangnya.
Daunnya bisa digunakan untuk pakan sapi di musim kemarau. Kemudian memanfaatkan limbah tanaman Indigofera menjadi biomassa cofiring PLTU. Sehingga emisi dari limbah yang membusuk atau dibakar akan menurun secara drastis. Sedangkan dari penanaman di lahan kritis maka akan ada penyerapan karbon di tanah dan di batang tanaman.
Menurutnya, kebutuhan biomassa untuk cofiring meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun PLN EPI ini akan memasok 2,2 juta ton kebutuhan biomassa di 47 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milikPLN Grup.
Salah satu keunggulan penggunaan biomassa yaitu harganya yang setara dengan batu bara, artinya biaya pokok produksi pembangkit tidak akan meningkat.
“Saat ini batu bara USD5 – 6 Sen (sekitar Rp 7.795 – 9.354) per kilo Watt hour (kWh). Biomassa juga setara dengan itu. Jika dibandingkan dengan EBT lain, biomassa ini yang paling murah,” tambahnya.
Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang dijalankan tersebut mampu meningkatkan ekonomi dan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat di Gunungkidul Yogyakarta.
Berdasarkan hasil Sosial Return on Investment (SROI) program TJSL berdaya energi mampu meraih nilai 3,72. Artinya, dengan total investasi Rp897 juta memberikan dampak mencapai Rp3,6 miliar.
“Berdasarkan hasil kajian, SROI program TJSL berdaya energi mencapai nilai 3.72. Dengan investasi sekitar Rp1 miliar, memberikan dampak hingga Rp3 miliar. Untuk Kambing perah PE, total investasi kisaran Rp1 miliar memiliki nilai SROI 1,91 dengan hasil survei kepuasan masyarakat mencapai nilai 80 atau baik,” tambahnya.
Program desa berdaya energi merupakan tindak lanjut kerjasama antara PLN pusat dengan Pemerintah Propinsi DIY Kesultanan Yogyakarta untuk menggunakan lahan Sultan Ground melakukan penanaman multifungsi. Daunnya bisa digunakan sebagai pakan ternak kambing, sedangkan limbahnya menjadi biomassa cofiring PLTU.
“Diharapkan nantinya bisa menghasilkan 300.000 ton biomassa. Memang tidak terlalu besar, tetapi ini salah satu upaya dari PLN EPI untuk bisa meningkatkan pasokan biomassa ke depannya,” kata Mamit.
Salah satu alasan melakukan program tersebut adalah warga Kalurahan Karang Asem dan Gombang sangat kesulitan mencari pakan ternak pada musim kemarau. Melalui program ini, maka istilah sapi makan sapi diharapkan dapat segera teratasi.
“Ya, memang saat ini masih ada istilah sapi makan sapi. Itu terjadi saat musim kemarau panjang, peternak sapi dan kambing kesulitan untuk mencari pakan,” kata Lurah Karang Asem, Parimin.
Menurutnya, kolaborasi antara PLN EPI, Kesultanan Yogyakarta, dan Pemerintah Kalurahan diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam penurunan emisi karbon. Selain itu, program ini juga bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dalam rantai pasok biomassa dan mendukung transisi energi yang lebih bersih.
“Tanaman-tanaman ini ditanam di pekarangan rumah warga, tanah kas desa dan lahan milik Sri Sultan Hamengkubuwono X. Dengan dukungan penuh dari masyarakat dan pemangku kepentingan, program Desa Berdaya Energi di Karang Asem dan Gombang diharapkan dapat menjadi contoh sukses dalam upaya penurunan emisi dan pemberdayaan masyarakat,” jelas Parimin.
Lurah Gombang, Supriyanto mengatakan program ini tidak hanya bertujuan menurunkan emisi karbon, tetapi juga memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat setempat.
“Masyarakat akan mendapatkan manfaat dari penjualan ranting tanaman ini. Kami berharap tahun depan sudah bisa mulai panen dan memberikan tambahan penghasilan bagi warga,” tambah Supriyanto.
PLN Energi Primer Indonesia telah melakukan penanaman 100.000 bibit pohon di dua kalurahan. Pada tahap awal, ditanam 50.000 bibit pohon, kemudian pada 22 Februari 2024 ditanam lagi 50.000 bibit pohon.
Sebanyak 50.000 bibit dibagikan untuk dua kalurahan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 15.000 bibit ditanam di Tanah Kas Desa dan Sultan Ground seluas 300.000 meter persegi atau 30 hektar dengan kerapatan tanaman 1 meter antarpohon. Kemudian, sebanyak 10.000 bibit ditanam di ladang atau pekarangan warga dan setiap warga atau Kepala Keluarga mendapatkan 9-12 bibit pohon.
“Daunnya bisa untuk pakan ternak. Rantingya dikumpulkan, dikemas, nanti dikirim ke PLN Pacitan sebagai pengganti batu bara,” tambah Parimin.
Selain penanaman tanaman multifungsi, PLN EPI juga berfokus dalam Pemberdayaan UMKM melalui Pelatihan dan Sertifikasi serta Program Kesehatan untuk menurunkan tingkat stunting.
Beberapa kegiatan TJSL yang dilaksanakan antara lain penguatan posyandu dan pemberian bantuan masing-masing 21 ekor kambing perah peranakan etawa yang susunya dapat memenuhi kebutuhan gizi balita di Karang Asem dan Gombang.
Direktur Utama PLN EPI, Iwan Agung Firstantara menekankan pentingnya co-firing biomassa dalam mendukung keberlanjutan energi dan ekonomi Indonesia.
“Program co-firing yang kami terapkan di PLN merupakan bagian dari transformasi menuju energi yang lebih hijau dan ramah lingkungan. Dengan memanfaatkan biomassa lokal, kami tidak hanya mampu menurunkan emisi karbon hingga 11 juta ton CO2 per tahun, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui penyediaan bahan bakar biomassa,” ujar Iwan Agung Firstantara.
Program co-firing PLN EPI melibatkan penggunaan biomassa dari berbagai sumber, termasuk limbah pertanian dan perkebunan seperti sekam padi, bonggol jagung, serbuk gergaji, serta cangkang sawit dan bukan berasal dari deforestasi.
Biomassa ini digunakan sebagai bahan bakar tambahan yang disubstitusi dengan batubara dalam pembakaran PLTU. Hingga akhir tahun 2023, sebanyak 46 dari 52 PLTU yang dikelola oleh PLN Grup telah berhasil mengimplementasikan program ini.
Menurutnya, Implementasi co-firing ini memberikan dampak nyata bagi ekonomi lokal. Melalui kemitraan dengan petani dan industri kecil, PLN EPI telah menciptakan ekosistem berkelanjutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
“Kami melibatkan lebih dari 1,25 juta masyarakat dalam rantai pasok biomassa. Mulai dari pengumpulan limbah, produksi, hingga distribusi rantai pasok, serta penanaman dan pengembangan ekosistem biomassa di 52 PLTU. Sirkular ekonomi ini memiliki skala ekonomi mencapai Rp9,43 triliun,” tambahnya.