Jakarta, Bumntrack.co.id – Di Medan, 2024, seorang dokter di RSUD Dr. Pirngadi marah putus asa. Dua pasien meninggal karena stok obat habis, sementara keluarga terpaksa membeli sendiri obat penyelamat nyawa.
“Saya seringkali pusing melihat rumah sakit ini,” ujarnya lirih.
Tragedi itu mencerminkan luka bangsa: dana publik yang semestinya memperkuat layanan kesehatan, sering bocor.
Itu karena uang publik berubah wujud: vila di Bali, rekening di Singapura, apartemen di Manhattan.
Di sinilah RUU Perampasan Aset Negara menemukan maknanya. Ia bukan sekadar hukum, melainkan jembatan moral: merampas kembali harta haram untuk rakyat.
Setiap rupiah yang diselamatkan bisa berubah menjadi ruang rawat, obat gratis, dan harapan hidup.
Keadilan tidak boleh hanya berupa vonis. Ia harus nyata: hadir di ranjang pasien, di meja belajar siswa, di jalan-jalan desa.
Luka itu menjerit, bukan hanya karena harta raib, tetapi karena keadilan terasa jauh.
-000-
Salah satu tuntutan aksi protes di 32 provinsi pada akhir Agustus hingga awal September 2025 adalah: tuntaskan RUU Perampasan Aset Negara.
Presiden Prabowo telah merespons, berjanji mendorong penyelesaiannya. Namun, pertanyaannya: mengapa RUU ini begitu krusial?
Untuk memahami jawabannya, mari kembali pada buku penting Stolen Asset Recovery: A Good Practices Guide for Non-Conviction Based Asset Forfeiture (2009), disusun oleh Theodore S. Greenberg, Linda M. Samuel, Wingate Grant, dan Larissa Gray.
Di sana terhampar gagasan revolusioner: hukum harus berani mengejar benda yang tak wajar asal-usulnya, meski manusia pemiliknya tak lagi bisa disentuh pidana.
Karena kejahatan modern berlari lebih cepat dari hukum klasik, kita butuh instrumen baru yang tak lagi mengejar bayangan, melainkan menyalakan terang.
-000-
Tiga Gagasan Revolusioner
1. Hukum Bisa Mengejar Benda, Bukan Hanya Manusia
Hukum klasik selalu menyoal pelaku. Tapi bagaimana jika pelaku kabur atau meninggal?
Dengan pendekatan in rem, pertanyaannya bergeser: bukan “siapa yang bersalah”, tetapi “apakah harta ini sah?”
Bayangkan seorang pejabat bergaji 20 juta per bulan memiliki vila 50 miliar.
Atau seorang PNS rendahan dengan rekening miliaran di luar negeri. Dengan pendekatan ini, pengadilan cukup bertanya: “Dari mana asalnya?”
Paradigma ini menutup celah koruptor. Negara tak lagi seperti polisi yang berlari mengejar pencuri di lorong gelap, melainkan seperti matahari yang menyoroti benda-benda mencurigakan agar tak bisa lagi bersembunyi.
-000-
2. Keadilan Membutuhkan Pembalikan Beban Pembuktian
Asas presumption of innocence adalah pilar hukum pidana. Namun, dalam konteks aset, ia sering menjadi tameng koruptor.
Panduan StAR 2009 dan kajian Simon N.M. Young sama-sama menekankan konsep reverse onus: biarkan pemilik harta yang membuktikan bahwa hartanya sah. Jika tidak, harta itu kembali ke negara.
Apakah ini melanggar asas keadilan? Tidak. Justru ini adalah bentuk tertinggi dari keadilan. Karena harta adalah jejak moral.
Bila seseorang tak mampu menjelaskan asal-usul kekayaannya, harta itu lebih dekat dengan dusta ketimbang kebenaran.
-000-
3. Perampasan Aset sebagai Perang Moral Global
Korupsi, narkoba, pencucian uang, terorisme—semuanya mencari perlindungan dalam aset tersembunyi.
Negara kaya menawarkan surga pajak. Bank internasional diam-diam jadi pagar.
Karena itulah non-conviction based forfeiture kini diadopsi luas: Australia, Inggris, Amerika Serikat, Italia, Swiss.
PBB melalui UNCAC bahkan mendorongnya jadi standar global.
Setiap vila mewah yang berubah jadi sekolah publik, setiap rekening gelap yang menjadi rumah sakit rakyat—itulah kemenangan moral.
Inilah perang global yang menegaskan: keadilan bukan sekadar teks, ia bisa menjelma ruang kelas, obat, dan harapan.
-000-
Indonesia kehilangan triliunan rupiah tiap tahun karena tak ada payung hukum kuat untuk merampas aset.
Bayangkan:
• 1 triliun rupiah cukup untuk membangun 100 rumah sakit kelas kabupaten.
• 5 triliun rupiah bisa membiayai 1 juta beasiswa perguruan tinggi.
• 10 triliun rupiah dapat memperbaiki ribuan kilometer jalan desa.
Setiap penundaan UU Perampasan Aset bukan sekadar soal legislasi. Ia adalah penundaan kesejahteraan. Ia adalah penundaan harapan anak-anak bangsa.
Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah kita siap, tetapi apakah kita berani.
-000-
UU Perampasan Aset adalah revolusi senyap. Ia tak butuh teriakan massa, tak perlu kobaran api di jalan. Tapi dampaknya bisa lebih dalam dari seribu orasi.
Ia adalah cara negara berkata: “Cukup sudah. Kekayaan yang tak sah, kembali ke rakyat.”
Bayangkan:
• Seorang anak Papua akhirnya bisa belajar dengan buku gratis karena dana rampasan korupsi dipakai untuk pendidikan.
• Seorang ibu di Lombok bisa melahirkan di rumah sakit yang layak karena aset kejahatan dikonversi menjadi layanan kesehatan.
• Seorang nelayan di Sulawesi bisa pulang dengan jalan desa yang mulus karena uang rampasan itu membiayai infrastruktur.
UU ini bukan sekadar menghukum pencuri. Ia adalah tentang mengembalikan hak rakyat.
-000-
Meski Undang-Undang Perampasan Aset Negara menjanjikan masa depan lebih adil, pertanyaan kritis tetap bergema: bagaimana masyarakat bisa yakin kekuatan negara tidak disalahgunakan?
Jawabannya terletak pada keberanian membangun sistem yang transparan, terbuka, dan partisipatif.
Ini seperti yang dicontohkan Malaysia saat memulihkan dana 1MDB.
Malaysia menghadapi luka nasional yang dalam, namun mengobatinya dengan langkah tegas dan kolaborasi lintas lembaga, termasuk pengawasan ketat pengadilan.
Hingga 2025, sekitar 70% dari total RM42 miliar (setara lebih dari Rp130 triliun) aset berhasil dikembalikan ke negara. Ini angka tertinggi dalam sejarah kasus korupsi global.
Ini bisa dicapai tanpa mengorbankan hak asasi manusia, karena prosesnya penuh akuntabilitas dan keterbukaan publik.
Moral dari kisah ini sederhana namun dalam: hukum yang tajam menindak kejahatan harus berpijak pada kepercayaan publik dan pertanggungjawaban nyata.
Setiap triliun yang kembali bukan sekadar angka, tetapi harapan yang pulang ke rakyat, menjadi sekolah, rumah sakit, dan jalan desa yang dulu hilang.
Kuncinya adalah keberanian menegakkan keadilan tanpa kompromi, tetapi selalu berpihak pada transparansi dan partisipasi masyarakat.
-000-
Sejarah selalu menguji bangsa dengan pertanyaan: apakah kita cukup berani mengubah luka menjadi cahaya?
UU Perampasan Aset adalah jawaban kita hari ini. Ia adalah jembatan moral dari gelapnya korupsi menuju terang keadilan sosial.
Mungkin kelak, anak-anak kita akan membaca buku sejarah dan berkata:
“Di tahun-tahun penuh luka itu, bangsa ini akhirnya memilih bangkit. Ia memilih merampas kembali apa yang memang milik rakyat.”
Ditulis Oleh:
Denny JA. (Seorang penulis, konsultan politik, intelektual, sastrawan, wirausahawan. Juga merupakan Komut Pertamina Hulu Energi)