Peran Bank BUMN dalam Memulihkan Ekonomi

Oleh: Paul Sutaryono
Staf Ahli Pusat Studi BUMN&Pengamat Perbankan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 11/POJK.03/2020 menyebutkan, bank melakukan restrukturisasi kredit bagi debitur yang terdampak Covid-19 dengan plafon Rp10 miliar. Bagaimana peran bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam merestrukturisasi kredit untuk memulihkan ekonomi?
Aturan yang efektif 16 Maret 2020 hingga 31 Maret 2021 tersebut bertujuan mendorong optimalisasi fungsi intermediasi perbankan, menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Restrukturisasi kredit itu juga berlaku bagi debitur usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) pada sektor ekonomi seperti pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, pengolahan, pertanian dan pertambangan.
Restrukturisasi kredit dapat berupa penurunan suku bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga. Selain itu, penambahan fasilitas kredit maupun konversi kredit atau pembiayaan dapat menjadi penyertaan modal sementara.
Tujuh Langkah Strategis
Lantas, apa saja langkah strategis bagi bank BUMN untuk memainkan peran dalam merestrukturisasi kredit untuk memulihkan ekonomi?
Pertama, semua bank patut mempertimbangkan munculnya aji mumpung (moral hazard). Artinya, kemungkinan besar ada debitur yang mengajukan restrukturisasi kredit padahal tak terdampak Covid-19. Untuk itu, bank wajib selektif dalam melakukan restrukturisasi kredit. Apalagi OJK merencanakan untuk memperpanjang masa pemberian restrukturisasi kredit. Kedua, plus ketika ada permintaan restrukturisasi kredit oleh debitur yang terdampak Covid-19 namun di luar sektor sesuai dengan kebijakan OJK. Bagaimana menyikapinya?
Untuk itu, bank harus menetapkan penilaian sendiri (self assessment) terhadap debitur demikian sesuai dengan saran OJK. Tentu, bank semestinya sudah memiliki aturan internal dengan tetap berpedoman pada aturan perundangan-undangan yang berlaku.
Selama ini bank sudah pernah melakukan restrukturisasi kredit terhadap debitur yang terkena bencana alam. Katakanlah, gempa bumi yang mengakibatkan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada 26 Desember 2004 dan gempa bumi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006. Demikian pula, gempa bumi di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 29 Juli 2018 dan di Sulawesi Tengah pada 28 September 2018. Pengalaman itu hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi bank dalam menetapkan restrukturisasi kredit.
Data OJK menunjukkan, sampai 29 Juni 2020, realisasi restrukturisasi kredit perbankan mencapai Rp740,79 triliun untuk 6,56 juta debitur UMKM dan non-UMKM. Dari jumlah tersebut, realisasi restrukturisasi kredit untuk UMKM Rp317,29 triliun untuk 5,29 juta debitur dan non-UMKM Rp 423,5 triliun untuk 1,27 juta debitur. Untuk perusahaan pembiayaan hingga 30 Juni 2020, outstanding restrukturisasi kredit Rp133,84 triliun untuk 3,74 juta kontrak disetujui sedangkan 451.655 kontrak masih dalam proses persetujuan.
Ketiga, sejatinya bank juga akan terbebani dengan restrukturisasi kredit itu. Mengapa? Lantaran angsuran bulanan akan anjlok sehingga pendapatan bunga kredit (interest income) akan merosot. Bahkan beberapa bank papan atas telah menutup sementara puluhan kantor cabang pembantu dan kantor kas. Bukan hanya pebisnis yang terderupsi rantai pasokan terutama dari China, tetapi juga bank terkait dengan transaksi internasional berupa ekspor, impor dan bank garansi. Sarinya, ketika transaksi ekspor impor itu terganggu, otomatis transaksi perdagangan internasional (trade finance) yang dilakukan bank akan ikut terdisrupsi. Padahal trade finance itu telah memberikan kontribusi sekitar 35 persen dari pendapatan dari komisi (fee-based income) bagi bank besar. Selain itu, pendapatan menipis sebaliknya pengeluaran menebal.
Gejala penipisan pendapatan itu akan tampak pada penurunan margin bunga bersih (net interest margin/NIM) pada bulan-bulan mendatang. Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang terbit 3 Juli 2020 mencatat bahwa NIM secara tahunan (year on year/YoY) telah menipis 30 basis poin (bps) dari 4,87 per April 2019 menjadi 4,57% per April 2020. Penipisan NIM yang cukup signifikan.
Keempat, bagaimana peran bank BUMN untuk memulihkan ekonomi nasional? Hingga April 2020, kredit bank persero itu mencapai Rp 2.412,51 triliun atau 44,82 persen dari total kredit bank umum (tidak termasuk bank umum syariah/BUS) Rp 5.382,55 triliun.
Coba bandingkan dengan kontribusi kelompok bank lainnya. Ini datanya. Kontribusi kredit Kelompok Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa 37,81 persen dan Kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD) 8,23 persen. Selain itu, kontribusi Kelompok Bank Asing 4,51 persen, Kelompok Bank Campuran 3,66 persen dan Kelompok BUSN Non-Devisa 0,98 persen. Data tersebut menegaskan bahwa bank pemerintah memegang peran sentral dalam memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional melalui penyaluran kredit terbesar 44,82 persen. Dengan bahasa lebih bening, bank BUMN menjadi pemimpin pasar (market leader) dalam industri perbankan nasional.
Maka tidak mengherankan manakala realisasi restrukturisasi kredit mencapai Rp207,20 triliun baik dari UMKM dan non-UMKM per 24 April 2020. Dari jumlah itu, bank BUMN telah memberikan kontribusi terbesar dalam melakukan restruktrisasi kredit Rp204,64 triliun atau 98,76 persen. Total restrukturisasi kredit bank BUMN tersebut terdiri dari BRI Rp85 triliun untuk 1,2 juta debitur hingga 30 April 2020, BNI Rp69 triliun untuk 103.447 debitur memasuki April 2020, Bank Mandiri Rp46 triliun untuk 165.000 debitur hingga 7 Mei 2020 dan BTN Rp4,64 triliun untuk 24.730 debitur hingga 24 April 2020 (kontan.co.id, 21 Mei 2020).
Kelima, itulah sebabnya pemerintah mengucurkan penempatan dana Rp30 triliun kepada bank BUMN pada 25 Juni 2020. Jumlah tersebut meliputi Bank Mandiri dan BRI masing-masing Rp10 triliun, sedangkan BNI dan BTN masing-masing Rp5 triliun.
Data menunjukkan, bank BUMN telah menyalurkan kredit Rp43,50 triliun atau 145 persenhingga 22 Juli 2020 dari total penempatan dana pemerintah dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Padahal penempatan dana baru berjalan belum sebulan dari 25 Juni 2020 hingga 22 Juli 2020. Suatu kabar gembira!
Oleh karena itu, pemerintah akan meningkatkan penempatan dana itu untuk lebih menggenjot pemulihan ekonomi melalui kredit bank BUMN. Hal itu dapat dimaklumi mengingat masing-masing bank BUMN memiliki infrastruktur yang memadai. Infratruktur itu bisa berupa ribuan kantor sebagai saluran distribusi. Demikian pula SDM yang lebih terampil dan berpengalaman dibandingkan dengan kelompok bank lainnya.
Keenam, pemerintah pun siap menggeber penyaluran kredit UMKM dengan memberikan jaminan sehingga bank tak perlu takut untuk menyalurkan kredit. Namun ingat bahwa dalam penyaluran kredit akan tersimpan potensi risiko (inherent risk).
Untuk itu, bank BUMN sudah semestinya tetap menerapkan manajemen risiko dengan jitu. Hal itu bertujuan untuk mitigasi risiko kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang kini makin memburuk dari 2,57 persen per April 2019 menjadi 2,89 persen per April 2020. Bila bank tidak berhati-hati dalam mengucurkan kredit, NPL bakal naik ke level 3 persen pada akhir 2020.
Ketujuh, bank pun wajib menerapkan azas kepatuhan (compliance). Lugasnya, tiap langkah dalam mengucurkan kredit dan restrukturisasi kredit harus berpedoman pada aturan. Ini penting untuk menjamin kualitas kredit.
Dengan tujuh langkah strategis tersebut, bank pelat merah diharapkan tetap sehat sehingga lebih mampu memainkan peran dalam memulihkan ekonomi nasional.