
Oleh : Roy Sembel, Profesor Keuangan dan Investasi IPMI International Business School
Penguatan Good Corporate Governance (GCG) tidak lepas dari good public governance sehingga perlu sinkronisasi antara keduanya. Ibarat ikan yang awalnya sehat tetapi kolomnya penuh polusi maka ikan tersebut tidak akan sehat.
Dalam konteks Good Corporate Governance (GCG) di BUMN, sebenarya ada yang baik, yakni pengawasaan GCG dilakukan oleh banyak institusi. GCG BUMN dilaporkan dan diaudit oleh beberapa instansi. Di antaranya BPKP, BPK, Kementerian BUMN, kementerian teknis. Bahkan bagi BUMN yang go public, pelaporan GCG juga dilakukan kepada otoritas pasar modal. Jadi, pelaporan GCG BUMN lebih berlapis dibanding perusahaam swasta biasa.
Namun di sisi lain, ada kekurangan BUMN. BUMN hidup dalam lingkungan peraturan yang secara governance lebih ke arah external governance. Artinya, di luar BUMN ada Undang-undang (UU) dan peraturan yang mengatur BUMN yang masih tumpang-tindih. Misal, ada UU tentang BUMN dan UU tentang Perbendaharaan Negara. Di mana pemisahan antara aset negara dan aset bisnis BUMN, seringkali kabur. Ini yang menjadi salah permasalahan sehingga di satu sisi BUMN harus berbisnis tapi di sisi lain azas-azas bisnis yang wajar tidak bisa langsung diterapkan dalam pengelolaan bisnis BUMN karena terbentur UU. UU tersebut antara lain menyatakan, bila ada kerugian pada BUMN dapat dinyatakan sebagai kerugian negara. Ini salah satu yang menghambat GCG di BUMN untuk menjadi lebih transparan dan akuntabel.
Hal lain, dari sisi pemilihan top management BUMN. Bila menggunakan peraturan GCG secara umum, pada perusahaan swasta misal bila hendak melakukan pergantian top management baik direksi atau komisaris, ada tahapan-tahapannya. Sebelumnya akan ada perencanaan, ada usulan dari Komite Renumerasi, lalu dibahas di Rapat Dewan Komisaris. Selanjutnya diusulkan pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sedangkan di BUMN sering terjadi, satu jam sebelum RUPS baru diketahui bila terjadi perubahan. Sebenarnya hal tersebut melanggar azas-azas GCG. Hal-hal seperti ini merupakan external governance yang perlu diperbaiki.
Di sisi lain BUMN sendiri mengalami hambatan karena harus melakasanakan universal obligation atau Public Service Obligation (PSO) untuk melayani masyarakat. Jadi, terkadang batas antara bisnis dan PSO kurang jelas. Akibatnya, governance dari sisi full business tidak bisa langsung diterapkan sebagaimana mestinya. Konsentrasi BUMN menjadi lebih kepada membuat laporan-laporan (paper work) sehingga kehilangan jiwa dari substansi kultur GCG. Kultur GCG BUMN pun cenderung tergantikan dengan formalitas GCG. Energi BUMN habis untuk membuat lapraon GCG kepada beberapa instansi yang mengawasinya. Hal seperti ini yang juga harus diperbaiki.
Termasuk masih adanya UU yang bertabrakan antara yang satu dengan yang lain. Aturan antara pengawas satu dan pengawas lain terkadang juga berbeda sehingga perlu pula diperbaiki karena serba membingungkan, rumit dan complicated. Terutama untuk pelaporan dan pemenuhan GCG BUMN harus memenuhi azas akuntabiltas instansi pengawasan yang mana.
Sementara itu BUMN tetap dikejar untuk memenuhi kontribusi dari hasil finansialnya. Adanya tarik-menarik seperti itu sehingga terkadang membuat langkah top managementBUMN menjadi serba salah. Tentu kita juga tidak bisa mengabaikan bila masih ada celah-celah sehingga dalam beberapa waktu terakhir ada top management BUMN yang terkena kasus. Hal tersebut juga terjadi pada perusahaan swasta. Oleh karena itu perbaikan perlu dilakukan bersama-sama terhadap good public governance karena dampaknya bukan hanya kepada BUMN tetapi juga perusahaan swasta. Dalam konteks external governance ada good pubic governance, good regulatory governance, good market governance, good industry governance yang juga perlu diperbaiki.
Sedangkan dalam konteks perusahaaan ada good corporate governance. Bila external governance tersebut bisa diperbaiki bersama diharapkan bisnis akan lebih transparan, akuntabel, fair dan lebih bebas dari conflict of interest. Biasanya conflict of interest tercipta karena dalam peraturannya sendiri sudah conflicting.
Kita memang masing banyak pekerjaan rumah sehingga perlu kita tingkatkan, rundingkan bersama dan perlu adanya simplifikasi terhadap peraturan-peraturan yang terlalu njelimet. Sehingga fokus BUMN tidak hanya pada pembuatan laporan-laporan GCG (paper work) tetapi lebih kepada substansi implementasi GCG.
Perlu adanya sinkronisasi dan harmonisasi antara public governance dan good corporate governance. Dalam sinkronisasi tersebut juga perlu diperhatikan agar UU yang terkait GCG jangan tumpang-tindih sehingga interpretasi tidak bermacam-macam yang malah bisa membahayakan BUMN. Terlebih size BUMN besar-besar dibanding perusahaan swasta. Bila terjadi masalah pada BUMN tersebut meski porsinya kecil tetapi karena size BUMN besar sehingga dampaknya bisa menjadi besar.
Bahkan terkait good public governance bisa saja akan mengatur akuntabelitas petinggi BUMN kepada anggota DPR lantaran terlalu sering dipanggil DPR sehingga menghabiskan energi untuk bekerja, misalnya. Yang seperti ini juga melanggar governance karena merepotkan BUMN sehingga perlu diihat peraturannya seperti apa. Hal tersebut perlu diperjelas.
Sinkronisasi good public governance dan GCG juga penting agar ada kecocokan antara apa yang diinginkan BUMN dengan yang diukur. Terkadang apa yang kita inginkan dengan yang diukur berbeda. Adanya alat ukur yang tumpang tindih sehinga BUMN terlalu banyak mengurusi pelaporan sedangkan yang lain terabaikan. Begitu pula supervisor atu auditor, setelah mendapatkan laporan yang tebal lantas bagaimana mereka menelisik laporan yang sedemikian tebal. Pada akhirnya laporan GCG tersebut hanya formalitas.
Terkait usulan membuat role model GCG, sebenarnya sudah banyak award terkait GCG. Permasalahannya, penilaian award terkadang ada yang subjektif. Bila penilaiannya menggunakan standar domestik terkadang masih ada unsur subjektif sehingga pelu memperhatikan standar-standar penilaian internasional. Misalnya ada standar internasional yang memakai one tier board (dewan satu lapis) dan two tier board (dewan dua lapis yakni komisaris dan direksi), akan berbeda. Standar internasional mesti diterapkan dalam menilai GCG namun tetap harus memperhatikan keunikan GCG di Indonesia.
Instansi pengawas GCG di BUMN juga jangan terlalu banyak, maksimal dua atau tiga instansi saja. Bila terlalu banyak pengawas, selain energi akan habis untuk membuat laporan, juga tidak ada fokus menjalankan bisnis dan mengembangkan kultur GCG.
Sedangkan terkait best practice dengan mengacu pada BUMN di Singapura dan Malaysia, pada dasarnya best practice bersifat dinamis, tidak bisa hanya mengacu pada satu tempat saja, atau pada masa lalu saja. Karena perubahan bisnis begitu dinamis maka perlu juga ditinjau kembali. Memang yang lebih dulu maju membuat holding BUMN dan paling dekat dengan kita adalah Singapura dan Malaysia, namun mereka juga terkena bermacam-macam isu besar. Bahkan di holding mereka sendiri perlu ada good holding governance.