
Jakarta, Bumntrack.co.id – Publikasi Laporan Keuangan Semester I/2020 PT Pertamiba (persero) menunjukan bahwa perusahaan mengalami kerugian sekitar Rp11 triliun. Kerugian sebesar itu merupakan rekor rugi tertinggi selama 10 tahun terakhir. Penurunan lifting minyak merupakan penyumbang terbesar terhadap penurunan penjualan ekspor Migas, yang menyebabkan Pertamina merugi.
“Namun, mestinya pendapatan penjualan BBM meningkat pesat. Pasalnya, Pertamina tidak menurunkan harga BBM pada saat harga minyak dunia lagi terpuruk selama tahun 2020,” kata Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi di Jakarta, Kamis (27/8).
Dalam kondisi merugi itu, keputusan Pertamina untuk akuisisi ladang minyak di luar negeri merupakan keputusan blunder. Pasalnya hal tersebut akan memperbesar kerugian Pertamina pada semester II/2020. Alasannya, investasi tersebut tidak bisa dibiayai dari sumber internal laba ditahan, tapi dibiayai dari sumber eksteral utang. Otomatis akan semakin memperbesar biaya bunga sehingga memberatkan kerugian
“Selain tidak ada laba ditahan, setoran deviden dan pajak juga akan mengalami penurunan drastis. Demikian juga dengan partner dan kontraktor yang selama ini bekerja sama dengan Pertamina pasti akan terkena imbasnya. Ujung-ujungnya, PHK di Pertamina dan para partner tidak bisa dihindarkan. Sehingga memperbesar jumlah PHK di Indonesia,” jelasnya.
Dalam kondisi tersebut, Pertamina tidak bisa ikut berperan dalam memberikan kontribusi terhadap sumber dana APBN, pembukaan lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan ekonomi, serta pencegahan ancaman resesi ekonomi Indonesia.