Pesangon Tidak Turun Karena UU Ciptaker

Jakarta, Bumntrack.co.id – Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang disahkan DPR pada November 2020 menimbulkan banyak sekali pro kontra, meski tujuan UU Ciptaker adalah agar kondisi tenaga kerja di Indonesia lebih menarik bagi investor. Yang paling sering disuarakan oleh buruh adalah isu pesangon yang dipandang turun dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah.
Sejatinya masalah ini muncul karena komunikasi dari Pemerintah yang lebih menekankan kelebihan UU Ciptaker secara umum, misalnya bahwa hanya 7% perusahaan yang memberikan pesangon sesuai peraturan perundangan, sehingga UU ini lebih menarik bagi investor. Di sisi lain, sepertinya masyarakat sendiri kurang membaca secara detil dan memahami secara garis besarnya. Akibatnya muncul suara-suara negatif bahkan demonstrasi menentang UU Ciptaker.
Mari kita lihat secara runtut. Kita perlu memahami bahwa UU Ciptaker tidak menghapus UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, namun mengubah, menghapus, atau menambahkan pasal-pasal di UU No 13 Tahun 2003. Pasal-pasal yang tidak diubah atau dihapus masih tetap berlaku, misalnya pasal 124 UU No 13 tahun 2003 yang mengatur Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 pasal 156 ayat 1 menyebutkan bahwa “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”.
Di UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 pasal 156 ayat 2 menjelaskan perhitungan uang pesangon dan di ayat 3 perhitungan uang penghargaan. Besaran pesangon menurut ayat 2 ditetapkan paling sedikit 1 (Satu) sampai 9 (Sembilan) bulan upah tergantung masa kerja.
Sementara itu, uang penghargaan sebesar 2 (Dua) sampai 10 (Sepuluh) bulan upah tergantung masa kerja. Sebelumnya dijelaskan bahwa besaran yang diberikan boleh berupa uang pesangon (maksimum 9 (Sembilan) bulan upah) atau uang penghargaan (maksimum 10 (Sepuluh) bulan upah) saja. Sehingga bisa diartikan jumlah terbesar yang wajib dibayarkan pengusaha sebenarnya 9 (Sembilan) bulan upah saja.
Lalu, darimanakah angka 32 kali upah itu diperoleh? Menurut UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 ada beberapa kondisi yang mengakibatkan pemutusan hubungan kerja yang menimbulkan koefisien pengali bagi pemberian pesangon menjadi 2 (dua) kali dari ketentuan pasal 156 ayat 2 dan 1 (satu) kali dari ayat 3, sehingga total menjadi (2 x 9) + 10 = 28 bulan upah. Beberapa kondisi yang dimaksud adalah: perusahaan berubah statusnya, terjadi penggabungan atau peleburan perusahaan dan pengusaha tidak bersedia menerima buruh di perusahaannya (pasal 163 ayat 2); perusahaan tutup bukan karena kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut (pasal 164 ayat 3); pekerja meninggal dunia (pasal 166); pekerja memasuki usia pensiun (pasal 167); pengusaha melakukan tindakan yang membahayakan pekerja (pasal 169).
Besaran 28 kali upah di atas kemudian ditambahkan sebesar 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan (pasal 156 ayat 4c), sehingga menjadi 28 + (15% x 28) = 32,2 bulan upah.
Tidak semua kondisi pemutusan hubungan kerja akan memperoleh pesangon sebanyak 32,2 bulan upah. Untuk alasan pemutusan hubungan kerja di luar pasal-pasal yang telah disebutkan sebelumnya, koefisien tetap sebesar 1 (Satu) menjadi (1 x 9) + 10 = 19 bulan upah. Lalu ditambahkan 15% menjadi 19 + (15% x 19) = 21,85 bulan upah.
Di dalam UU Ciptaker Bab IV Ketenagakerjaan, pasal-pasal yang mengatur koefisien pengali sebesar 2 yang disebutkan sebelumnya (pasal 163, pasal 164, pasal 166, pasal 167, dan pasal 169) dihapus dan ketentuan penambahan 15% (pasal 156 ayat 4c) diubah menjadi ‘ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama’. Sehingga perhitungannya menjadi 9 (Sembilan) + 10 (Sepuluh) = 19 bulan upah. Kemudian ditambahkan dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (UU Ciptaker Bagian Ketujuh, Pasal 46D ayat 2) paling banyak 6 (Enam) bulan upah. Total mencapai 19 + 6 = 25 bulan upah.
Kita lihat bahwa peran Perjanjian Kerja Bersama (PKB) pada UU No 13 Tahun 2003 dan UU Ciptaker pasal 156 ayat 4c tetap ada. Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Willie Farianto menegaskan bahwa di dalam UU Cipta Kerja peran PKB memang tetap berlaku.
PKB sendiri dapat memuat besaran pesangon dan uang penghargaan dari pengusaha kepada pekerja dan ketentuannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku (UU No 13 Tahun 2003 Pasal 124 ayat 2). Pada bagian Penjelasan UU No 13 Tahun 2003, hal ini berarti kualitas dan kuantitasnya tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundangan. Artinya, PKB boleh saja mengatur pesangon yang lebih tinggi dari UU Ciptaker (Bernadetha, 2020).
Beberapa pasal lain juga menyebutkan bahwa hak-hak yang diberikan kepada pekerja harus lebih baik dan menguntungkan jika ada perbedaan ketentuan dalam PKB dan Undang-Undang, misalnya Pasal 61 dan Pasal 79 UU No 13 Tahun 2003 bagian Penjelasan.
Ketentuan yang menyebutkan PKB tidak boleh mengatur lebih baik dari peraturan perundangan ada di UU Ciptaker Bab Ketenagakerjaan bagian Penjelasan Pasal 154A ayat 2. Namun hal ini hanya berlaku untuk alasan pemutusan hubungan kerja selain diatur pada Pasal 154A ayat 1, yang mana di antaranya adalah pekerja memasuki usia pensiun (poin n). Artinya dalam kondisi pekerja memasuki usia pensiun, PKB boleh mengatur lebih baik dari peraturan perundangan.
Kesimpulannya, peraturan perundangan ini sifatnya adalah sebagai syarat minimum yang harus dipenuhi pengusaha dan perusahaan, bukan hal mutlak jika memang pengusaha mau dan mampu memberikan lebih baik kepada pekerja dibandingkan yang diatur dalam peraturan perundangan.
Sehingga perusahaan yang selama ini mengatur besaran pesangon sebanyak 32 (atau lebih) bulan upah melalui skema apapun, dapat terus melanjutkan kebijakan tersebut agar semangat pekerjanya terus tinggi.
Ditulis Oleh:
Ricky Virona Martono – Core Faculty PPM School of Management