Petani Garda Terdepan Mewujudkan Kemandirian Gula Nasional

E-Magazine Januari - Maret 2025

Jakarta, Bumntrack.co.id – Dalam rangka mencari masukan untuk mewujudkan kemandirian gula nasional, PTPN III (persero) menggelar Webinar terkait permasalahan, kelembagaan dan kerjasama petani dengan pabrik gula. Hal tersebut dilakukan mengingat PT Perkebunan Nusantara (PTPN) merupakan pemilik 60 persen pabrik gula yang beroperasi di Indonesia. Transformasi yang dilakukan PTPN memiliki tujuan untuk mewujudkan kemandiran gula konsumsi, mengurangi impor gula/menghemat devisa negara, meningkatkan kesejahteraan petani dan menjaga stabilitas harga gula konsumsi.

“Tranformasi PTPN salah satunya dilakukan dengan autokritik karena 60 persen pabrik gula yang ada di Indonesia merupakan milik PTPN. Artinya PTPN membutuhkan masukan tokoh, pakar, petani dan akademisi guna mewujudkan kemandirian gula nasional pada 2024 mendatang. Mudah-mudahan ini bisa tercapai dengan tekad yang kuat mewujudkan kemandirian gula pada 2024 bersama petani,” kata Direktur Produksi dan Pengembangan Holding PTPN III, Mahmudi di Jakarta, Selasa (28/9).

Saat ini produksi gula Indonesia 2,1 juta ton, lebih rendah dari konsumsi langsung 2,8 juta ton dan kebutuhan industri 3,1 juta ton. Artinya, sebagian kebutuhan gula harus dipenuhi melalui impor. Potensi pengembangan industri gula masih sangat banyak. Kebutuhan gula nasional saat ini mencapai 6,7 juta ton sedangkan dari tahun ke tahun produksi gula terus menurun. PTPN menargetkan pada 2024 dapat memproduksi 2,1 juta ton dengan total kemandirian gula nasional mencapai 3,7 juta ton. “Kita berharap bisa mengurangi impor gula, artinya turut meningkatkan devisa negara,” tambahnya.

Saat ini, gula impor untuk konsumsi mencapai 1 juta ton, sedangkan impor gula industri mencapai 3 juta ton. Besarnya impor gula ini menjadi PR besar bagi PTPN untuk mewujudkan kemandirian gula nasional. “Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian gula adalah mendorong kemitraan dengan petani,” jelasnya.

Beberapa langkah yang dilakukan salah satunya pembentukan SugarCo yang merupakan momentum PTPN untuk mewujudkan kemandirian gula. PTPN memiliki SGN sebagai bagian transformasi bisnis di PTPN. “Kita berharap produksi gula bisa mencapai 1,8 juta ton. Salah satu poin penting adalah mewujudkan kesejahteraan petani yang berada di garda terdepan. Kita punya cita-cita pada 2024 kesehateraan petani bisa meningkat menjadi 21,2 juta per hektar, kemudian tahun 2030 meningkat menjadi 36,5 juta per hektar,” jelasnya.

PTPN memiliki berbagai program untuk mensejahterakan petani, meningkatkan produksi melalui varietas unggul, peningkatan sarana dan prasarana sesuai kondisi lahan, optimalisasi masa tanam, memfasilitasi pemupukan yang tepat waktu dan dosis. “Program tersebut dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan pertani,” terangnya.

Akademisi dari Universitas Brawijaya, Sujarwo mengatakan bahwa sejarah di dunia menunjukkan bahwa ketika terjadi krisis ekonomi maka sektor pertanian menjadi andalan untuk dapat bangkit kembali. Indonesia memiliki amanah yang besar melalui tanah yang subur untuk dipergunakan sebaik-baiknya. “Sumberdaya pertanian di Indonesia adalah amanah. Tanah subur diberikan gratis, tapi hati-hati itu pinjaman akan dimintai pertanggung jawaban. Misalnya tanah subur diubah menjadi tanah yang tidak subur seperti dibangun perumahan, pabrik,” jelas Akademisi dari Universitas Brawijaya, Sujarwo

Apabila PTPN mengejar skala ekonomi, efeknya adalah suply chain yang harus diperbaiki. Jika supply chain tidak diperbaiki maka akan terjadi over suply-defisit atau bingung mau dijual kemana. Produksi gula nasional menghadapi tantangan dalam trade-off penggunaan sumberdaya lahan untuk non-tebu. Saat ini locus terpusat di Jawa Timur dan Lampung dengan konsentrasi sekitar 77 persen.

Ada beberapa permasalahan dari industri gula yaitu gap teknologi untuk produktifitas on-farm dan efisiensi PG masih relative tinggi, permasalahan dalam pengukuran rendemen dan kualitas tebu, livelihood asset yang masih belum optimal mendukung sustainabilitas ketersediaan BBT dan produksi Gula Nasional (Daya Saing), serta ICE sugar price mencapai 19.25 cents/lbs setara Rp6.200/kg sedangkan harga domestic mengacu Jawa Timur mencapai Rp11,900/kg jauh lebih tinggi dibanding pasar internasional.

Sebagaimana produk pertanian lainnya, tebu sebagai komoditas strategis dibutuhkan dalam sustainabilitas produksi gula nasional harus berupaya mereduksi gap produktivitas melalui tata kelola produksi tebu dan perbaikan teknologi usahatani. Perbaikan teknik budidaya tebu dan juga termasuk di dalamnya introduksi bibit unggul diperlukan dalam pola kemitraan integrasi vertical dan kolaborasi untuk skala ekonomi dan efisiensi perwilayahan komoditas. “Koperasi Petani Tebu harus wujud sebagai kesadaran pentingnya berlembaga bagi petani untuk efisiensi usahatani dan kemudahan transaksi,” tegasnya.

Ekonomi Senior INDEF, Bustanul Arifin mengungkapkan bahwa permasalahan struktural yang telah lama diketahui antara lain areal lahan tebu turun 2,5 persen , tercatat hanya 416 ribu ha pada tahun 2020. Selain itu, produksi tebu turun 3,2 persen, tercatat hanya 27,7 juta ton pada tahun 2020. Produksi gula juga turun 3,6 persen, tercatat hanya 2,1 juta ton pada tahun 2020. Bahkan saat ini, Indonesia menjadi importir gula terbesar di dunia mencapai 4,3 juta ton, jauh di atas China (3,4 juta ton), Amerika Serikat (2,9 juta ton), dan negara-negara lain.

“Dari sisi Hulu, usahatani tebu tidak efisien, produktivitas rendah, persaingan lahan dengan tanaman pangan lain, terutama yang menjadi sasaran program pemerintah. Dari sisi Hilir, sebagian besar pabrik gula di Jawa sudah tua, proses produksi tidak efisien, teknologi ketinggalan zaman, rendemen gula rendah, dll. Selain itu, Industri makanan-minuman domestik berkembang pesat, meningkatkan permintaan impor gula mentah, ada ketegangan antara gula rafinasi dan industri berbasis tebu,” jelasnya.

Menurutnya, kebijakan industri gula harus terus dikembangkan melalui pengembangan gula berbasis tebu yang efisien, dimensi hulu-hilir, mulai dari sistem usahatani distribusi, perdagangan, hingga pasar global. PTPN juga perlu berinvestasi dalam R&D untuk terobosan perubahan teknologi, perbaikan sistem pembenihan dan pembibitan tebu, bongkar ratoon tebu secara berkala harus dilengkapi sistem penyuluhan dan pemberdayaan petani untuk peningkatan produktivitas tebu.

Sistem pembiayaan usahatani tebu seharusnya bisa mendukung cashflow 2-3 bulan bagi petani tebu rakyat. Selain itu, diperlukan konsolidasi lahan petani tebu rakyat, untuk mencapai skala usaha ekonomi 5 hektar, untuk meningkatkan produktivitas tebu. Kebijakan harga juga kredibel karena kebijakan referensi harga jauh lebih baik daripada kebijakan eceran maksimum (HET), jika tidak ada lembaga berwenang.

“Pemerintah seharusnya memberikan kebijakan impor gula rafinasi yang tidak diskriminatif, yang mengarah pada persaingan usaha yang sehat, tidak harus berbasis alokasi kuota, yang multi tafsir,” tutupnya.

Bagikan:

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.