BERITA

Sepanjang 2020, Mayoritas Aduan Industri Asuransi adalah Gagal Bayar

Jakarta, Bumntrack.co.id – Dalam rangka memberikan literasi kepada masyarakat terkait langkah pemerintah di sektor Asuransi, Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengungkapkan sudah seharusnya industri asuransi dikelola dengan cara yang beradab. Pasalnya, secara awam masyarakat membutuhkan asuransi ketika sedang berduka. Misalnya, ketika ada tagihan Rumah Sakit yang membuat pengeluaran membengkak bahkan menguras tabungan.

“Salah satu tugas dan fungsi Ombudsman adalah menerima pengaduaan dari masyarakat. Pada 2020, Ombudsman telah menerima 38 pengaduan mengenai permasalahan asuransi. Pengaduan tersebut diluar jaminan sosial pada sistem jaminan sosial nasional,” kata Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika dalam seminar online dan Bedah Buku dengan tema “Rapuhnya Tata Kelola Asuransi dan Dampaknya Terhadap Industri Keuangan di Indonesia” di Jakarta, Rabu (10/3).

Merujuk master plan sektor jasa keuangan 2021-2025 yang disusun OJK, permodalan dunia asuransi terjaga stabil di level yang memadai. Risk base asuransi jiwa dan asuransi umum masing-masing 538,8 persen dan 337,2 persen. Nilai tersebut jauh diatas ambang batas minimal yang ditetapkan OJK pada level 120 persen.

Dari 38 aduan yang diterima Ombudsman sepanjang 2020, mayoritas merupakan aduan terkait gagal bayar seperti yang terjadi pada AJB Bumiputera dan Jiwasraya. “Sebanyak 41 persen adalah aduan gagal bayar seperti yang terjadi pada AJB Bumiputera dan Jiwasraya. Kedua, rumitnya pengajuan klaim mencapai 29 persen. Ketiga, rumitnya pencairan dana mencapai 21 persen,” jelasnya.

Menurutnya, gagal bayar oleh lembaga asuransi sangat memprihatinkan karena keberadaan asuransi untuk memberikan jaminan. Namun lembaga tersebut ternyata tidak memberikan harapan saat dibutuhkan. Dari persidangan kasus Jiwasraya terbukti ada kerugian negara mencapai Rp16,8 triliun.

Sebagai lesson learn berbagai kasus asuransi tersebut, dirinya mencatat ada lima hal yang menjadi perhatian ombudsman. Lima hal mulai dari pembiaran tata kelola yang buruk, lemahnya pengawasan, transparansi, sistem deteksi terkait mitigasi risiko dan aspek literasi kepada masyarakat.

“Ada praktek pembiaran tata kelola yang buruk dan rendahnya kepatuhan industri asuransi terhadap regulasi, misalnya rangkap jabatan. Selain itu, banyak berkembang unit link daripada unit tradisional. Tata kelola yang buruk juga terlihat dari penempatan dana yang berisiko,” jelasnya.

Kedua, lemahnya pengawasan investasi yang dilakukan. Hal ini terlihat dari pembiaran terhadap investasi yang dilakukan industri asuransi. Ketiga, adalah lesson learn dari kasus sebelumnya bahwa transparansi dalam pengelolaan keuangan belum dilakukan secara baik. “Laporan keuangan hanya ringkasan saja, sehingga debitur tidak memperhatikan dikemanakan uang mereka,” terangnya.

Keempat yaitu sistem deteksi dini OJK belum efektif sehingga kesulitan untuk melakukan mitigasi risiko. Kelima, belum memadainya aspek literasi kepada masyarakat. Hal tersebut telihat berdasarkan data asosiasi asuransi pada September 2020, masyarakat terproteksi asuransi hanya 58 juta jiwa, nilai tersebut menurun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

“Khusus terkait kasus Jiwasraya dalam rangka mengatasi dampak yang terjadi, pada 1 Februari 2021 kami telah menyarankan kepada Presiden Jokowi terkait perbaikan data, pemisahan rekening efek dan non rekening efek pada Jiwasraya. Kedua mempercepat pembentukan lembaga penjaminan polis. Selain itu, secara persuasif memberikan literasi ke publik agar tetap optimis terhadap industri asuransi dan lembaga keuangan non-bank,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Back to top button