
Oleh: Paul Sutaryono
Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan &Mantan Assistant Vice President BNI
Sungguh, badan usaha milik negara (BUMN) Karya telah memainkan peran penting dalam membangun infrastruktur. Apa saja tantangan BUMN Karya dalam membiayai infrastruktur sebagai salah satu alat untuk menyuburkan ekonomi di tengah tikaman Covid-19?
BUMN Karya meliputi PT Hutama Karya (rencana) sebagai induk perusahaan dengan anggota PT Jasa Marga Tbk, PT Waskita Karya Tbk, PT Adhi Karya Tbk, PT Yodya Karya dan PT Indra Karya. Infrastruktur itu meliputi bandara, pelabuhan laut, irigasi, jalan tol, jembatan, jalan kereta api termasuk mass rapid transit (MRT) dan kereta ringan (light rail transit/LRT), telekomunikasi dan pembangkit tenaga listrik. Bagaimana kinerja infrastruktur? Sepanjang 2014, pembangunan jalan tol mencapai 794 km lalu melaju menjadi 1.128 km (naik 42,07%) pada 2017, 1.254 km (11,17%) pada 2018 (September) dan 1.794 km (43,06%) pada 2019 (perkiraan). Terjadi peningkatan konektivitas laut dengan selesainya 27 pembangunan pelabuhan baru.
Hal itu mendorong kenaikan volume trafik peti kemas 21,3 juta TEUs (twenty-foot equivalent unit atau satuan peti kemas) pada 2014 yang melesat menjadi 27,1 juta TEUs (naik 27,23%) pada 2017. Kemudian naik lagi menjadi 29,9 juta TEUs (10,33%) pada 2018 dan menjadi 34,8 juta TEUs (16,39%) pada 2019 (perkiraan). Terjadi pula kenaikan konektivitas udara dengan tuntasnya tujuh bandara baru yang mampu meningkatkan jumlah penumpang pesawat dari 158 juta pada 2014 menjadi 195 juta orang (naik 23,42%) pada 2017. Jumlah penumpang kembali naik menjadi 211 juta orang (8,21%) pada 2018 dan menjadi 235 juta orang (11,37%) pada 2019 (perkiraan).
Untuk membiayai proyek infrastruktur pada 2014-2019, Indonesia membutuhkan dana Rp 6.541 triliun. APBN hanya mampu membiayai Rp 1.555 triliun atau sekitar 24% dari kebutuhan anggaran pembangunan infrastruktur (Kompas, 5/5/2017). Untuk membiayainya, BUMN Karya melakukan berbagai cara untuk memperoleh utang. Inilah data utang beberapa BUMN Karya: PT Wijaya Karya Tbk Rp 30,35 triliun, PT Jasa Marga Tbk Rp 41,56 triliun, PT Waskita Karya Tbk Rp 45,02 triliun dan PT Adhi Karya Tbk Rp 25,68 triliun (Kontan, 8/5/2020). Sengatan Covid-19 ini makin menambah beban BUMN Karya dalam mencari dana dalam membiayai pembangunan infrastruktur.
Langkah Strategis
Apa saja tantangan BUMN Karya? Apa langkah strategis untuk menghadapi tantangan itu? Pertama, sebagian utang BUMN termasuk BUMN Karya akan jatuh tempo pada 2020. Karena itu, beberapa BUMN mengajukan penundaan pembayaran utang seperti perpanjangan tenor atau penurunan suku bunga.
Kedua, maka dalam menerbitkan surat utang (obligasi), pemerintah bisa belajar dari Jepang dalam membiayai pembangunan infrastruktur. Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Jepang tercatat tinggi 238,20% jauh lebih tinggi daripada negara maju lainnya Italia 134,80%, AS 106,90%, Perancis 98,40%, Kanada 89,70%, Inggris 80,80% dan Jerman 59,8%.
Bandingkan dengan BRICS yang meliputi Brasil 75,79%, Rusia 14,60%, India 69,62%, China 50,50% dan Afrika Selatan 62,20. Indonesia 29,80% jauh lebih rendah daripada negara ASEAN Singapura 126,30%, Vietnam 57,50%, Malaysia 51,80%, Filipina 41,50% dan Thailand 41,80%.
Meskipun rasio utang terhadap PDB begitu tinggi, sebagian besar surat utang Jepang (sekitar 90%) dibeli rakyatnya sendiri sehingga dana pembayaran bunga tetap beredar di dalam negeri. Alhasil, beban utang tak besar dampaknya terhadap stabilitas makroekonomi Jepang (Faisal Basri, 27/1/19).
Ketiga, pemerintah perlu merangkul sektor swasta (public private partnership/PPP). Malaysia telah melaksanakan PPP sejak pertengahan 1980-an. Indonesia pun sudah menjalin kerja sama dengan 26 mitra bisnis baik lokal maupun asing dengan 19 proyek dengan nilai 13,5 miliar dollar AS (setara Rp 189 triliun dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS). Pemerintah perlu menggenjot PPP itu dengan sektor swasta lokal. Hal ini juga bertujuan untuk menekan potensi risiko nilai tukar (exchange rate potential risk) lantaran pembangunan infrastruktur pada umumnya bertenor menengah-panjang.
Keempat, selama ini pemerintah telah menggandeng beberapa bank pelat merah BRI, Bank Mandiri, BNI, BTN dan BCA. Sejauh mana kredit infrastruktur menurut kelompok bank dengan asumsi bahwa kredit infrastruktur meliputi kredit sektor listrik, gas dan air, sektor konstruksi dan sektor transportasi, pergudangan dan komunikasi? Data Statistik Perbankan Indonesia yang terbit 29 Mei 2020 menunjukkan bank umum sebagai representasi semua kelompok bank telah menyalurkan kredit infrastruktur Rp 821,53 triliun per Maret 2020.
Inilah rinciannya. Kelompok Bank Persero Rp 390,89 triliun dengan kontribusi 47,58% dari total kredit infrastruktur dan dibayangi Kelompok Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Devisa Rp 321,90 triliun (kontribusi 39,18%). Kemudian menyusul Kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD) Rp 38,86 triliun (4,73%), Kelompok Bank Asing Rp 41,84 triliun (5,09%), Kelompok Bank Campuran Rp 22,63 triliun (2,75%) dan Kelompok BUSN Non Devisa Rp 5,42 triliun (0,67%). Data tersebut menegaskan kontribusi Kelompok Bank Asing ternyata masih rendah di bawah 10% tepatnya 5,09% dalam membiayai pembangunan infrastruktur. Untuk itu, pemerintah hendaknya “mendesak” kantor cabang bank asing sebagai Kelompok Bank Asing untuk lebih aktif membiayai pembangunan infrastruktur.
Kelima, sesungguhnya kini likuiditas sedang gersang. Hal itu tersirat pada rasio loan to deposit ratio (LDR) yang tinggi 92,55% per Maret 2020 sedikit di atas ambang batas 78-92% meskipun turun dari 94,00% per Maret 2019.
Selain itu, sumber pendanaan bank dari giro, tabungan dan deposito paling lama 24 bulan sebaliknya kredit infrastruktur biasanya bertenor menengah-panjang berkisar 5-10 tahun. Intinya, sumber pendanaan jangka pendek untuk membiayai proyek jangka panjang itu bisa menimbulkan ketidaksesuaian jangka waktu (maturity mismatch). Untuk itu, bank wajib mengerek tingkat efisiensi yang tersurat dalam rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) yang mencapai 88,84% jauh di atas ambang batas 70-80%. Artinya, bank umum masih kalah efisien daripada BOPO bank-bank di ASEAN yang sekitar 40-60%.
Keenam, bank pun dibatasi batas maksimal pemberian kredit (BMPK) 30% dari modal bank kepada BUMN untuk tujuan pembangunan seperti infrastruktur. BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal bank. Sarinya, bank wajib mitigasi risiko kredit dengan cerdas dan BUMN Karya tak lagi dapat mengharapkan kucuran kredit lebih tinggi dari bank pelat merah.
Ketujuh, rencana pembentukan induk perusahaan (holding company) BUMN Karya perlu dipertimbangkan kembali. Mengapa? Karena ketika induk perusahaan itu terbentuk, bank akan menilai BUMN Karya sebagai satu entitas. Akibatnya, kredit infrastruktur akan lebih terbatas. Inilah tantangan serius Kementerian BUMN dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Kedelapan, untuk itu, pembentukan induk perusahaan itu perlu ditunda hingga infrastruktur dianggap sudah memadai. Saatnya bagi Kemenkeu untuk mengucurkan penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN Karya.
Hal itu bertujuan agar arus kas perseroan lebih perkasa. Hal itu sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020 sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang sudah disetujui DPR menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Dengan sejumlah langkah strategis tersebut, BUMN Karya akan tetap mampu membiayai infrastruktur dengan sigap!