Who Moved My Cheese?
Oleh: Firsan Nova
CEO Nexus Risk Mitigation and Strategic Communication
The secret of crisis management is not good vs bad. Its Preventing the bad from getting worse. (Andy Gilman)
Tak banyak yang mengenal Komoro, Lesotho, Kiribati, Nauru, Tuvalu dan Tonga. Sebagian orang termasuk saya baru mengenalnya saat Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis daftar 15 negara yang tak terpapar virus corona, bersama-sama dengan Korea Utara, Tajikistan dan Turkmenistan.
Awal 2020 dunia diisi dengan kejutan tak terduga. Covid-19 menyebabkan tak kurang dari 4,3juta orang terpapar dan lebih dari 292.000 di antaranya dinyatakan meninggal dunia. Tak hanya jutaan air mata yang tumpah ruah ke tanah kubur yang tak bisa diziarahi, ia juga meluluhlantakkan ekonomi banyak negara.
Multiplier effect-nya membuat pertumbuhan ekonomi jeblok, PHK meluas merontokkan daya beli yang pelan-pelan mengarah pada krisis ekonomi. Sebuah situasi yang tak terbayangkan oleh cabinet baru Presiden Jokowi. Maka periodekedua ini tidak akan diisi dengan banyak suka cita. Shock, denial, anger, bargaining dan depression akan mengiringi periode ke-2 Presiden Jokowi yang pelan-pelan juga akanmenghampiri dan masuk ke dala mrumah-rumahkita. Menciptakan gejolak-gejolak domestic rumah tangga dengan krisis keuangan sebagai hulunya.
Betapapun pemerintah berupaya membantu sektor usaha hingga bansos untuk mereka yang tak punya, namun pada akhirnya kita berdiri di atas kaki kita masing-masing. Maka tulisan ini adalah untuk memetakan bagaimana orang bersikap saat krisis terjadi. Bersikap pada saat berada di titik paling rendah dalam hidupnya. Tak peduli apakahi a CEO atau ia kepala rumah tangga, saat ini adalah ujian dengan soal yang sama. Yang menang adalah yang bertahan, betapa pun harus berdarah-darah menghadapinya.
Who Moved My Cheese?
Dalam krisis ada dua kecenderungan orang dalam bertindak. Spenser Johnson, dalam bukunya ‘Who Moved My Cheese?’ membaginya dalam diri empat tokoh, yaitu dua ekortikus Sniff dan Scurry dan dua kurcaci serupa manusia, Hem dan Haw. Cheese adalah metafora dari kemakmuran. Sesuatu yang dikejar banyak orang, yang sebelumnya dimiliki namun kemudian tiada. Analogi dari kemakmuran yang raib atau kemapanan yang menguap tak berbekas.
DalamWho Moved My Cheese dikisahkan persediaan keju habis. Sniff dan Scurry segera bergerak mencari keju baru. Mencari ke segala arah dan gagal berkali-kali dalam labirin yang tak pasti. Sementara, Hem dan Haw yang lebih cerdas justru sibuk menganalisis mengapa krisis keju bisa terjadi dan saling menyalahkan sembari berharap semoga ada pertolongan. Sniff dan Scurry recovery lebih dulu dari Hem dan Haw dengan menemukan keju baru. Kerja keras yang mengalahkan kecerdasan, satu hal yang kerap terjadi.
Kesuksesan Sniff dan Scurry adalah karena kecepatan menerima situasi dan kemudian menyiapkan strategi untuk mencari peluang baru. David Kessler dan Elisabeth Kübler-Ross dalam Finding Meaning: The Sixth Stages of Grief menjelaskan bahwa saat situasi buruk datang seringkali orang tidak terima bahwa itu terjadi. Makastage of grief dimulai dari menolak (Denial), Marah (Anger), menawar (bargaining), depresi (depression) dan menerima (acceptance). Dari denial hingga depresi kita hanya menghabiskan waktu dengan keluh kesah. Tak ada upaya bangkit karena strategi justru dimulai setelah kita menerima situasi. Masalahnya waktu bangkit atau move-on tiap orang berbeda-beda. Maka orang yang cerdas dalam definisi adversity quotient adalah mereka yang cepat menerima situasi, seburuk apapun situasi itu dan sesegera mungkin mencari solusi.
J. William Worden dalamGrief counselling and grief therapy (1991) menawarkan konsep TEAR untuk cepat bangkit dari krisis. Yang pertama adalah(1) To accept the reality of the loss (2) Experiencing the pain of the loss (3) Adjusting to a new life without the lost person (4) Reinvestment in the new reality. Terima, nikmati, menyesuaikan diri dengan situasi dan jangan lupa melakukan investasi baru karena hidup terus berjalan adalah solusi yang ditawarkan untuk segera pulih. Solusi yang rasanya relevan pada situasi ini.
Temporary solution
MembacaWho moved my cheese, stage of grief dan membaca J. William Worden tentu pilihan kita tak banyak, selain menyiapkantemporary solution. Sebuah strategi alternative untuk bisa bertahan. Karena “keju” sebagai metafora bisnis utama kita,tak lagi bermakna.
Kita bisa belajar dari bagaimana bisnis hotel mencoba survive. Persatuan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI) merilis ada 1.504 hotel yang tutup sementara akibat covid-19. Tak inginl arut diterjang corona, beberapa hotel yang masih hidup menawarkan potongan harga. Tak juga cukup, beberapa hotel banting setir dengan menyediakan layanan antar makanan untuk masyarakat tanpa harus keluar rumah, dengan harga yang terjangkau dan free delivery. Sebagian lagi menawarkan self-isolation selama 1 bulan dengan tarif yang sangat murah. Mereka berupaya membuang persepsi mahalnya makan dan tinggal di hotel.
Ini adalah upaya mencari temporary solution. Berupaya menjadi Sniff dan Scurry. yang berlarikesana kemari mencari keju baru. Tunggang langgang tak tentu arah hingga akhirnya menuai hasil. Upaya untuk tak terjebak pada situasi yang gelap, karena tidak mungkin menjual hotel di saat seperti ini. Menariknya, kerapkali upaya temporary solution bisa menjadi permanent solution. Bahkan mengalahkan produk utama.
Salah satu kisah sukses temporary solution adalah ketika Telkomsel meluncurkan kartu pra bayar. Arief Yahya, teman kuliah yang pernah menjabat CEO Telkom mengatakan bahwa kartu pra-bayar sejatinyadi luncurkan sebagai temporary solution bagi turis atau orang asing yang berkunjung ke Indonesia dalam waktu yang tak lama.
Ia merupakan produk pelengkap kartu pascabayar. Namun demikian, produk yang diniatkan sebagai pelengkap justru menjadi marketleader. Tak tanggung-tanggung dari 163 juta pengguna telkomsel 157,6 juta di antaranya (95 persen) adalah pengguna kartu prabayar, hanya5,4 juta pengguna pascabayar.
Selamat mencari keju yang hilang, stay positive, stay at home. Selamat hari raya Iedul Fitri, Mohon maaf lahir dan batin.