
Oleh: Piter Abdullah
Peneliti Core Indonesia (Center of Reform on Economics)
BUMN kerap melakukan kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) yang keduanya merupakan kontribusi positif untuk masyarakat. Hanya saja terkait PKBL, Menteri BUMN Dahlan Iskan periode 2011-2014 pernah mengimbau agar BUMN tidak lagi menangani langsung PKBL, melainkan menyerahkan kepada lembaga yang lebih professional agar BUMN fokus menjalai core business-nya. Memang, pengelolaan PKBL bukan bidangnya BUMN sehingga selain menambah pekerjaan juga rentan terjadi penyalahgunaan. Namun secara umum, kegiatan CSR dann PKBL yang dilakukan BUMN bersifat positif.
Sebagian keuntungan BUMN harus disisihkan dan dikembalikan kepada masyarakat, sehingga bisa memberikan kontribusi kepada masyarakat, terutama bagi masyarakat miskin dan pengembangan UMKM. Tetapi yang harus dipikirkan bersama adalah cara penyampaian dana tersebut. Karena bisa saja niatnya baik, namun hasilnya bisa tidak baik. Kajian penulis menunjukan, banyak program pemerintah yang bertujuan memperkuat UMKM Koperasi serta mengentaskan kemiskinan. Hanya saja, program-program tersebut tidak tersinergikan.
Kita mempunyai PKBL yang dilakukan oleh BUMN, program Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta PT Permodalan Nasional Madani (PNM), tetapi semua berjalan sendiri, tidak ada koordinasi. Akhirnya output mereka tidak optimal. Masing-masing program memiliki tingkat kerentanan tersendiri. Misal, KUR, merupakan program pembiayaan bersubsidi yang dananya cukup besar. Meski bersubisidi dan dananya besar namun penyaluran KUR belum efektif mendorong pembiayaan kepada UMKM.
Salah satu indikator tidak efektifnya penyaluran KUR bisa dilihat dari tidak adanya lonjakan penyaluran KUR kepada pelaku UMKM. Sebelum dan sesudah penyaluran KUR, sama saja. Tidak ada dampak yang signifikan. Kondisi tersebut di-support oleh kajian BPK maupun Kantor Staf Presiden (KSP) yang menyatakan adanya kerentanan terhadap penyalahgunaan. Yang paling banyak terjadi pada penyaluran KUR adalah adanya shifting dari nasabah umum menjadi nasabah KUR. Penyaluran kredit tersebut tidak menciptaan sesuatu yang baru.
Untuk itu, idealnya dana PKBL tidak dikelola BUMN. Begitu pula penyaluran KUR dan dana bergulir jangan lagi dilakukan Kementerian. Pertama, pengelolaan PKBL secara langsung bukan pekerjaan yang sesuai dengan core business BUMN sehingga rentan dalam pelaksanaannya karena tidak akan fokus mengelola PKBL. Kedua, program PKBL, KUR dan Dana Bergulir sama dengan pembiayaan yang dilakukan lembaga keuangan mikro (LKM) yakni sama-sama memberikan kredit murah yang disubsidi pemeritah kepada UMKM. Dampaknya cukup merepotkan LKM, terutama yang beroperasi di daerah. Terjadi distorsi karena dana PKBL, KUR dan Dana Bergulir malah menjadi ‘pesaing’ yang terlalu kuat di lapangan lantaran berbunga sangat rendah, sehingga mematikan LKM seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menjadi sulit berkembang. Bahkan pada akhirnya abisa mematikan lembaga keuangan mikro.
Satu lagi, Dana Bergulir baik dari Kementerian PUPR, Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Perdagangaan, nilai dana bergulir mereka beesr dan mendapat subisidi pemerintah. Lantaran dikelola oleh bukan ahli di bidangnya sehingga hasilnya tidak optimal. Padahal selama ini untuk Dana Bergulir dan KUR mendapat subsidi pemerintah sehingga langsung membenani APBN. Sementara PKBL, meski merupakan dana yang bersumber dari BUMN memang tidak membebani APBN, tetapi mengurangi jumlah dana yang seharusnya disetorkan kepada pemerintah. Dengan demkian, sebenarnya ketiga program tersebut mengurangi potensi penerimaan APBN.
Bila KUR, Dana Bergukir dan PKBL dapat dikelola secara baik. Satu, akan mengurangi beban APBN. Dua, dengan program yang baik seharusya akan lebih efektif dalam mengembangkan UMKM serta mengentaskan kemiskinan. Karena itu yang harus dipikirkan adalah bagaimana menyinergikan program-program pemerintah dalam konteks mengembangkan UMKM serta mengentaskan kemiskinan. Program-program tersebut dapat disatukan dan dikelola oleh PT Permodalan Nasional Madani (PNM), misalnya. Dengan demikian, cukup satu perusahaan BUMN itu saja, tidak perlu banyak BUMN.
Lagi pula PNM sudah memiliki program Mekaar (Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera) dan ULaMM (Unit Layanan Modal Mikro) yang sudah terlihat hasilnya dan menjadi kebanggaan pemerintah. PNM pun memiliki tingkat penyaluran kredit yang baik dan non performimg loan (NPL/kredit bermasalah) yang sangat rendah. Bila sudah ada program yang baik, seperti PNM, misalnya, beri saja kepercayaan untuk mengelola dana PKBL, KUR, dan Dana Bergulir. Besarkan saja PNM sehingga tidak perlu lagi ada PKBL di BUMN, Dana Bergulir dari Kementerian maupun KUR.
Dalam perhitungan saya, bila dana pada program-program tersebut disatukan lalu dikelola PT PNM, bisa tercipta efisiensi hingga Rp20 triliun dalam satu tahun. Sedangkan dampaknya terhadap penayran dana dan pengentasan kemiskinan, jauh lebih besar. Jika dari dana tersebut disisihkan sekitar Rp1-5 triliun untuk dikelola PNM, dalam setahun dampaknya akan luar biasa. Kajian ini belum bisa diterapkan karena ada alasan kondisi tertentu. Biasanya ada pihak yang “bermain” atau ada pihak yang mendapatkan “mainan”.
Sedangkan untuk program CSR yang biasanya dilakukan dengan cara penyaluran langsung oleh BUMN kepada pihak penerima CSR, hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar. BUMN sebagai sebuah perusahaan harus berlaku sama dengan perusahaan-perusahaan swasta (non BUMN). Untuk CSR sebaiknya dilanjutkan saja, tidak usah diganggu karena dengan melakukan CSR membuat posisi BUMN sama dengan perusahaan swasta lain. Begitu pula dengan sinergi BUMN yang melakukan CSR secara bersama-sama, idealnya dilakukan perencanaan yang lebih baik agar penerimanya lebih merata dan tidak ada wilayah atau masyarakat yang merasa ditinggalkan, atau merasa dilebihkan.
Sementara itu, seperti yang dibahas di awal, pengelolaan PKBL diserahkan kepada ahlinya sehingga BUMN bisa fokus pada core business-nya. Bila ada SK Menteri BUMN atau peraturan lain yang masih mengatur PKBL sebaiknya dihapus. Prinsipnya, segala peraturan yang sudah tidak sesuai dengan zaman harus dihilangkan dan diganti. Jadi untuk menyinergikan program PKBL, KUR dan Dana Bergulir tinggal menunggu kemauan saja (good will) yang didasarkan pada argumentasi yang lebih kuat seperti untuk penguatan APBN, optimalisasi pengentasan kemiskinan dan sebagainya.
Untuk menyinergikan tiga program tersebut levelnya bukan pada Kementerian tetapi pada Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian, bila perlu langsung Presiden. Karena yang terjadi overlap bukan hanya pada PKBL tetapi juga pada progam-program pemerintah dalam konteks untuk pengentasan kemiskinan dan bantuan kepada UMKM.
Kalau ada kebijakan yang satu, dengan sumber dana yang begitu besar dan program yang sudah teruji, akan berdampak jauh lebih besar. Karena tidak akan lagi terjadi overlap, seperti satu orang pengusaha ternyata mendapat KUR, Dana Bergulir dan PKBL. Bila dana-dana tersebut dikelola oleh satu BUMN, maka akan ada database yang kuat, jangkauan penyaluran dana pun menjadi lebih luas serta dampaknya akan lebih terasa.