KOLOM PAKARLENSA

BERSIAPLAH UNTUK PERANG

Oleh Akhmad Kusaeni

                Si vis pacem, para bellum (Siapa menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang) adalah peribahasa Latin yang terkenal di dunia militer dan menginspirasi para jenderal untuk membangun industri pertahanan di negaranya masing-masing.

                Saya teringat peribahasa ini saat menjadi moderator sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Forum Komunikasi Industri Pertahanan (Forkominhan) pada 16 Januari 2023 dengan narasumber dari Kementerian Pertahanan, Mabes TNI,  PT.Dahana dan dari Universitas Pertahanan. FGD mengambil tema “Respon Industri Pertahanan terhadap geopolitik global yang berubah”.

                Fakta adanya dinamika geopolitik global yang berubah sekarang ini membuat saya kefikiran bahwa adagium yang pertama kali dikemukakan oleh penulis militer Romawi Publius Renatus sekitar tahun 400 M itu perlu juga berubah. Rumusan narasi peribahasa itu perlu disesuaikan dengan kondisi kekinian.

                Kalau selama ini rumusannya “Jika ingin damai, bersiaplah untuk perang”, adanya dinamika geopolitik global yang berubah membuat adagium Latin itu harus dibalik rumusannya menjadi “Bersiaplah untuk perang, jika ingin damai”. Kalau dulu “Si vis pacem, para bellum”. Kini “Para bellum, si vis pacem”.

                Ada sejumlah alasan untuk perubahan itu. Ketegangan geopolitik global makin mendekat ke halaman rumah kita, Indonesia. Amerika Serikat telah mengubah fokus jangkauan militernya dari kawasan Timur Tengah ke kawasan Indo Pasifik. Rivalitas adidaya AS versus China telah membuat Laut China Selatan bergolak dan Selat Taiwan memanas. Mesin perang menderu dan bergerak ke Indo Pasifik. Lomba senjata merebak di Laut China Selatan.

                Jika militer China merebut kembali Taiwan yang dianggapnya sebagai “propinsinya yang memisahkan diri dari mainland”, maka pasukan AS kan membela Taiwan sebagai “sekutu demokrasinya”.  Banyak yang khawatir Taiwan akan menjadi Ukraina di Indo Pasifik. Selat Taiwan menjadi flash point atau titik ledak menuju Perang Dunia III. Dan titik ledak itu tak jauh kawasan Asia Tenggara.

                Itu mimpi buruk bagi negara-negara di kawasan Indo Pasifik, termasuk kita di Indonesia. Pepatah lama “Kalau dua gajah berkelahi, pelanduk mati terjepit” menjadi kekhawatiran utama kita. AS dan China sebagai gajah adidaya yang berperang, maka negara-negara pelanduk di kawasan Asia Tenggara terbawa-bawa atau mungkin saja terinjak-injak.

                Agar pelanduk tidak mati kejepit di tengah berkelahinya dua gajah, kita harus menyiapkan diri untuk perang. Kita harus memperkuat industri pertahanan nasional. Kita harus mandiri dalam pengadaan alat utama sistim senjata (Alutsista) nasional. Industri strategis nasional harus direvitalisasi.

                Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sudah mahfum betul dengan resiko geopolitik global ini bagi Indonesia. Dalam rapat dengan Komisi I DPR RI pada 11 Nopember 2019, Prabowo  menegaskan bahwa kesiapan menghadapi perang merupakan salah satu landasan filosofi yang dibangun dalam pertahanan Indonesia. Maka dari itu, katanya, penyediaan alat utama sistem pertahanan (Alutsista) Indonesia tengah gencar ditingkatkan sebagai jawaban dari visi yang dibangun oleh Kementerian Pertahanan RI.

                Penguatan pertahanan Indonesia yang baik adalah penguatan yang diperuntukkan sebagai langkah preventif menghadapi ancaman dan gangguan terhadap kedaulatan dan keutuhan negara, bukan untuk diperuntukkan sebagai upaya untuk melakukan invasi atau serangan militer ke negara lain. Pertahanan yang kuat dapat dijadikan sebagai detterent effect atau efek pencegah timbulnya perang atau serangan militer dari luar wilayah kedaulatan NKRI.

                Negara yang industri pertahanannya kuat akan menciptakan stabilitas keamanan, perdamaian, dan pertumbuhan ekonomi yang baik. Jadi bersiap-siaplah untuk perang jika kita ingin damai.

Artikel Terkait

Back to top button