
Oleh: Firsan Nova
Managing Director
Nexus Risk Mitigation and Strategic Communication
Sebuah Meme masuk ke handphone saya. Isinya percakapan seorang ibu dengan
anaknya. Sang anak dengan lantang sambil membaca buku berteriak “Tuntutlah ilmu
ke negeri China” sang Ibu menukas tajam “Tak perlu, China sudah disini, ga usah
jauh-jauh”.
Meskipun meme, rasanya ada benarnya. Barang China semakin membanjiri Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor Indonesia pada April 2019 sebesar
USD 15,10 miliar atau naik 12,25 persen jika dibandingkan dengan Maret 2019.
Secara kumulatif impor Indonesia dari Januari hingga April adalah sebesar USD
55 miliar. Tiga negara besar pemasok barang impor sepanjang Januari hingga
April adalah China, Jepang dan Thailand. Dari tiga negara tersebut, China
menempati urutan pertama dengan nilai barang impor mencapai USD 14,37 miliar.
Indonesia sejauh ini juga masih mengalami defisit perdagangan cukup besar
terhadap China. Hingga April 2019, defisit perdagangan Indonesia terhadap
negara tirai bambu tersebut sebesar USD 7,1 miliar.
Mengapa Bukan Kita?
Saya ke Beijing
beberapa kali. Musim dingin Februari lalu, Di Jen Hotel Beijing, China World
Trade Center, tempat saya menginap tertulis “Anda mungkin tidak mendapati media
sosial yang familiar dengan anda, namun anda dapat menggunnakan Weibo, WeChat,
Baidu dan Youku Tudou sebagai pengganti media sosial yang akrab dengan Anda”.
Weibo adalah aplikasi media sosial buatan China berbentuk micro blogging, yang seringkali disamakan seperti Facebook dan
Twitter. WeChat, aplikasi pengiriman pesan pengganti Whatsapp dan Baidu adalah
mesin pencari pengganti google.
Sebagai pengganti Youtube China punya Youku Tudou, pelopor situs video terbesar
di China.
Terlepas dari alasan ekonomi dan politik di balik pemblokiran Twitter,
Instagram, Facebook, Snapchat, YouTube, WhatsApp hingga Google yang harus
dilihat adalah upaya China untuk membuat semuanya sendiri. Seperti saat melihat
sebuah produk yang menarik dan kemudian berkata pada diri sendiri “Mengapa kita
tak membuatnya?” Jangan-jangan perspektif inilah yang membuat China hampir
membuat apapun yang ada di dunia. Hingga muncul ungkapan “God made heaven and
earth, the rest was made in China”.
Mungkin
karena China berpikir peluang bisnis, sementara kita berpikir konsumtif.
China berupaya membuat, kita hanya tertarik membeli. China berupaya
menjadi produsen dan kita melulu menjadi konsumen.
Menantang Market Leader
Minggu ini saya membaca artikel bisnis dan dikejutkan oleh ambisi Luckin Coffee
untuk menggulung Starbucks. Luckin adalah coffee
shop milik China. Luckin Coffee secara agresif melebarkan sayap ke Timur
Tengah hingga India. Gerai kopi ini berencana bekerja sama dengan The Americana
Group, perusahaan yang berbasis di Kuwait. Americana merupakan perusahaan
raksasa yang menjalankan 1.900 waralaba di Timur Tengah seperti KFC, Red
Lobster, Olive Garden, Krispy Kreme dan pesaing Starbucks asal Inggris, Costa
Coffee.
Kolaborasi ini merupakan langkah awal Luckin Coffee untuk membawa produk
unggulan asal China ke kancah internasional. Timur Tengah dan India dibidik
karena, Starbucks juga memiliki pasar yang besar di negara tersebut. Misalnya
di Dubai ada 202 toko, Arab Saudi 191 toko dan Kuwait 151 toko. Selanjutnya di
India ada 146 gerai Starbucks. Luckin memang akan selalu mengintai Starbucks
dalam bisnis kopi. Seperti Alfamart menempel Indomaret.
Di China, Luckin terus membayang-hantui Starbucks dengan membuka ribuan toko
dalam dua tahun terakhir. Hingga Juli, Luckin Coffee sudah memiliki 3.000 toko
yang tersebar di 40 kota di China. Hingga akhir tahun ditargetkan bisa membuka
gerai hingga 4.500 unit. Jumlah gerai ini akan mengalahkan gerai Starbucks yang
mencapai 3.800 unit di China.
Ambisi Luckin untuk jadi rival Starbucks tak tanggung-tanggung. Pada Mei lalu,
Luckin melakukan penawaran umum perdana di New York dan perusahaan mengantongi
dana segar US$ 645 juta. Presiden Operasional Starbucks di Eropa, Timur Tengah
dan Afrika Martin Brok mengungkapkan saat ini memang ada tekanan pada bisnis
kopi di beberapa negara dan membuat tantangan menjadi lebih berat.
Luckin, Wuling, Oppo, Ali Baba adalah market
follower yang pelan-pelan berubah menjadi market challenger menantang market
leader. Sebuah brand no body yang
menjelma menjadi penantang serius. Merek China adalah “versus” bagi brand-brand global yang selama ini
bertahta sebagai market leader.
Mereka adalah ancaman yang tak bercanda.
Memimpikan Indonesia
Dalam industri selalu ada brand war. Sebuah perang antar market leader. Pertarungan bergengsi beradu kelas. Adidas vs Nike, BMW vs Mercedez Benz, Real Madrid vs Barcelona. Kebanyakan didominasi brand-brand Eropa dan Amerika. Beberapa all American Final, seperti Pepsi vs Coke. Namun saat ini beberapa dari mereka tak lagi all American atau European final. They now fighting againts China brand. Atau minimal, China mengancam posisi mereka sebagai penguasa pasar.
Ada sebuah ungkapan di masa lalu “The Heroes today is a Hero Supermarket”. Pahlawan hari ini adalah sebuah brand dari sebuah perusahaan. Produk perusahaan adalah tentara garda depan dalam pertempuran ini. Perjuangan paska kemerdekaan diisi dengan pertarungan-pertarungan korporat menaklukkan pasar dalam negerinya dan juga pasar luar negeri. Penaklukkan geografis berubah menjadi penaklukan pangsa pasar. Tahun 1975 Amerika hengkang dari Vietnam sebagai pihak yang kalah. Namun tak lama kembali menguasai Vietnam lewat Coca-Cola, KFC dan Google. Jepang akhirnya pergi dari Indonesia di tahun 1945, namun kembali mendominasi kita dengan Toyota dan Honda.
Penaklukkan merek adalah patriotisme era kini. Maka bolehlah kiranya kita berharap brand-brand nasional kita bisa berlaga dengan brand-brand global. Bank Mandiri versus HSBC, UI Versus Nanyang Technological University (NTU), Garuda versus Singapore Airlines dan lain sebagainya.
Harga Diri Bangsa Dalam Sebungkus Mie Instan
Setiap
keluar negeri saya selalu menyempatkan diri ke supermarket. Buat saya,
Supermarket adalah alat ukur untuk mengetahui sejauh mana kita hebat sebagai bangsa.
Kehebatan yang diwakili oleh produk-produk yang tersusun di rak-rak yang
memenuhi supermarket.
Semakin banyak produk asal Indonesia, semakin diperhitungkan kita sebagai
bangsa. Namun, seringkali yang saya dapati adalah minimnya jumlah produk
Indonesia. Kita minoritas di antara produk global. Termasuk sayur mayur
dan buah-buahan yang rasanya kita kaya, justru tak kita dapati di sana.
Thailand menjadi Raja untuk urusan pertanian.
Saya sedikit terobati ketika melihat Indomie berjejer rapi di antara mie instan
bermerek global. Tiba-tiba muncul kebanggaan sebagai anak bangsa. Menerbitkan
patriotisme kecil yang timbul karena melihat jejeran Indomie bertengger diatas
rak sebuah supermarket di belahan dunia lain.
Penaklukan Indomie tentu tak lepas dari strategi go global-nya Indofood, perusaahan milik warga negara Indonesia.
Indofood merupakan salah satu produsen mi instan terbesar di dunia, dengan
kapasitas produksi sekitar 18 miliar bungkus per tahun yang tersebar di 17
pabrik di seluruh Indonesia dan satu pabrik di Malaysia. Tidak hanya di Indonesia,
Indomie pun diekspor ke lebih dari 60 negara di seluruh dunia. Pasar-pasar
kunci ekspor Indofood antara lain Australia, Irak, Papua Nugini, Hong Kong,
Timur Leste, Yordania, Arab Saudi, Amerika Serikat, Selandia Baru, Taiwan, dan
negara-negara lainnya di Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan Asia.
Di Afrika, Pada awal tahun ini, Indomie dinobatkan sebagai produk mi instan
yang paling banyak dipilih di Afrika, berdasarkan pemeringkatan yang dibuat
oleh Kantar Worldpanel bertajuk Brand Footprint tahun 2016. Indomie berada
pada peringkat teratas dalam kategori Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) di
Afrika.
Indomie betapapun pro dan kontra terhadap dampaknya bagi kesehatan, ia adalah
pahlawan merek untuk bangsa ini. Dalam hal menjelajah pasar luar negeri
tentu Indomie tak sendiri. J.Co, Donut and Coffee, Polygon, Tolak Angin, Lea
Jeans, Kara, Kopiko, dan banyak lagi merek nasional berhasil merangsek masuk ke
pasar global.
Namun menjadi
kompetitor yang sepadan dan menaklukkan pasar adalah perjuangan yang berbeda.
Tak mudah untuk bisa bertarung head to
head versus market leader dalam global brand competition. Perlu kerja
keras dan kejelian membaca kebutuhan, keinginan dan ekspektasi pasar sasaran.
Mampukah kita? Jika pesimis belajar lah dari China.
Namun Jika kita menganggap China adalah kompetitor dan musuh yang harus
diperangi, penting untuk mengingat kata-kata Niki Lauda, Pembalap
legendaris Formula 1, “A wise man gets more from his enemies, than a fool from
his friend”.
Selamat berjuang brand-brand lokal!
Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-74. Merdeka!








