
Oleh: Nufransa Wira Sakti
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan
Dalam beberapa tahun terakhir, ketika perekonomian global mengalami perlambatan, pemerintah menerapkan kebijakan anggaran defisit. Kebijakan yang bersifat countercyclical ini memungkinkan Belanja Negara melebihi Penerimaan Negara, dengan batas maksimum defisit sebesar tiga persen per product domestic bruto (PDB) sesuai ketentuan UU Keuangan Negara nomor 17 Tahun 2003. Hal ini diperlukan agar Belanja Negara yang digunakan untuk kegiatan produktif sebagai stimulus perekonomian dapat tetap tumbuh. Sementara itu, secara bersamaan untuk memperbaiki Penerimaan Negara melalui perpajakan, pemerintah terus melakukan reformasi perpajakan dengan serius dan progresif, serta berkesinambungan.
Kebijakan defisit ini merupakan salah satu kebijakan yang dilakukan Pemerintah, sebagaimana kebijakan dalam bidang perpajakan melalui peningkatan besaran Pendapatan Tidak Kena Pajak /PTKP (untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi rumah tangga), dan kebijakan subsidi melalui pemberian bantuan sosial. Untuk menutupi defisit tersebut, Pemerintah menggunakan pembiayaan melalui utang sebagai alat/instrumen pembiayaan untuk menjaga pertumbuhan dan menghindari timbulnya beban pembangunan lebih besar lagi di masa depan (opportunity loss).
Sebagai gambaran, kebijakan defisit yang countercyclical di tahun 2015 yang terlihat jelas hasilnya dalam menopang pertumbuhan ekonomi dan menurunkan defisit di tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2015, di saat pertumbuhan melambat di bawah lima persen, yakni mencapai 4,88 persen, Pemerintah mengambil kebijakan defisit hingga 2,59 persen per PDB. Di tahun berikutnya hingga tahun 2018, pertumbuhan berhasil naik menjadi 5,17 persen dengan defisit anggaran menurun mencapai 1,81 persen per PDB, yang merupakan terendah sejak tahun 2012.
Selanjutnya kebijakan defisit yang countercyclical tersebut masih on-track di Triwulan I tahun 2019 ketika pertumbuhan ekonomi global diprediksi melambat namun pertumbuhan Indonesia masih mampu di atas lima persen. Selama triwulan tersebut, sisi konsumsi baik rumah tangga dan lembaga non-profit melayani rumah tangga serta konsumsi pemerintah tumbuh lebih tinggi dibandingkan tahun 2018. Hal ini ditunjukkan dengan ekonomi Indonesia yang tumbuh 5,07 persen pada periode tersebut, yang merupakan tertinggi dibandingkan Triwulan I dalam tiga tahun terakhir
Dengan menggunakan pembiayaan utang sebagai alat, pemerintah memiliki kemampuan lebih dalam memenuhi kebutuhan belanja di sektor prioritas, yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan perlindungan sosial, termasuk melalui transfer ke daerah yang mendukung kuatnya fundamental ekonomi dan kesejahteraan yang berkelanjutan. Selain itu, Pemerintah memiliki pembiayaan utang yang secara khusus ditujukan untuk belanja pembangunan berupa program dan proyek tertentu (earmarked). Pemerintah menggunakan instrumen pinjaman dan SBN, khususnya Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara dalam pembiayaan yang earmarked tersebut.
Pembiayaan melalui pinjaman sejak dahulu telah banyak perannya dalam membiayai proyek dan program nasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Pembiayaan proyek yang dibiayai pinjaman sangat beragam, mulai dari pembangunan dan rekonstruksi infrastruktur transportasi berupa jalan, jembatan, rel KA, pelabuhan, pengembangan wilayah pedesaan dan perkotaan, hingga infrastruktur listrik di beberapa wilayah. Pembiayaan program melalui pinjaman juga bervariasi seperti program pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemisikinan, dan peningkatan sumber daya masyarakat melalui pendidikan dan kesehatan.
Sementara itu, SBSN juga tidak kalah penting perannya dalam mendukung pembangunan, sebagai upaya untuk memperkuat kapasitas pembiayaan APBN sekaligus pemberdayaan ekonomi berbasis syariah. Dimulai tahun 2013, Pemerintah mengembangkan instrumen pembiayaan syariah yang digunakan untuk membiayai proyek, atau disebut Project Financing Sukuk (PFS).
Dengan nilai pembiayaan pada tahun tersebut sebesar Rp800 miliar, PFS semakin meningkat setiap tahunnya hingga tahun 2019 telah terakumulasi sebesar Rp90,91 triliun. Selama periode tersebut berbagai proyek untuk kemaslahatan umat telah dibiayai, antara lain jalan dan jembatan di 30 provinsi; jalur KA di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi; asrama haji di 24 kota/kabupaten; 701 kantor urusan agama dan manasik haji; gedung perkuliahan di 54 perguruan tinggi Keagamaan Islam; 32 madrasah; dan 328 pengelolaan sumber daya air; serta 3 taman nasional.
Apakah Utang Aman?
Utang Pemerintah sebagai komponen utama Pembiayaan APBN, saat ini posisinya masih tergolong aman dengan fundamental ekonomi yang cukup kuat. Posisi utang Pemerintah per April 2019 mencatat penurunan jika dibanding posisi Maret 2019, yaitu dari sebesar Rp4.567,3 triliun menjadi Rp4.528,5 triliun. Tidak hanya secara nominal, tapi yang paling penting adalah secara rasio utang terhadap PDB, karena rasio ini menjadi indikator yang dapat lebih informatif dari sekedar nilai nominal dan dapat diperbandingkan (comparable) antar negara. Dengan menggunakan rasio terhadap PDB, dapat secara jelas menunjukkan kemampuan ekonomi suatu negara dalam membayar utangnya.
Per akhir April 2019 rasio utang pemerintah tercatat 29,65 persen terhadap PDB, atau turun dari bulan sebelumnya yang sebesar 30,12 persen terhadap PDB dan masih jauh di bawah ketentuan UU Keuangan Negara sebesar 60 persen per PDB. Rasio utang Indonesia ini termasuk paling rendah jika dibandingkan dengan negara berkembang lain, seperti Brazil (83,97 persen), India (69,55 persen), Vietnam (57,40 persen), Malaysia (56,18 persen), Thailand (41,88 persen), dan Filipina (39,92 persen). Sementara itu, beberapa negara yang kaya akan sumber daya minyak pun rasio utangnya masih di atas 10 persen, seperti Saudi Arabia (17,21 persen) dan Rusia (13,53 persen).
Untuk menjaga rasio utang pada level yang aman, pemerintah meningkatkan belanja produktif dan berkualitas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berdampak meningkatkan PDB. Dengan meningkatnya PDB melebihi peningkatan jumlah utang karena belanja yang produktif dan berkualitas tersebut, rasio utang per PDB dapat menurun. Upaya menurunkan rasio utang juga dilakukan dengan mengembangkan pembiayaan yang inovatif, salah satunya skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) yang bertujuan menarik peran swasta ikut serta dalam program pembangunan, sehingga pelayanan masyarakat terpenuhi tanpa memberatkan APBN.
Pemerintah juga senantiasa memantau perkembangan kondisi pasar keuangan, terutama pasar SBN melalui pengimplementasian Crisis Management Protocol (CMP). CMP yang diterapkan secara harian akan memberikan indikator sejak dini (early warning) mengenai kondisi pasar SBN dari tingkat normal, waspada, siaga, dan krisis. Selanjutnya jika diperlukan pemerintah dapat mengambil langkah-langkah apabila kondisi pasar SBN di luar normal, antara lain melalui Bond Stabilization Framework (BSF) yang melibatkan berbagai pihak terkait untuk mengembalikan pasar SBN ke kondisi normal.
Amannya utang pemerintah juga ditunjukkan oleh kewajiban pelunasan utang yang telah diatur dalam UU Perbendaharaan Negara nomor 1 tahun 2004 dan UU APBN. Dalam UU APBN yang merupakan produk bersama antara pemerintah dan DPR, ditetapkan besarnya anggaran untuk melunasi utang negara. Tugas pemerintah adalah menjaga bahwa utang dimanfaatkan secara efektif untuk kegiatan yang produktif dan pengelolaannya terus terjaga dari risiko yang mungkin muncul.