
Oleh: Dr. Firsan Nova
Managing Director
NEXUS Risk Mitigation and Strategic
Communication
“A truth
can walk naked. But a lie always needs to be dressed.”
Saya sedang memberikan materi “Crisis Management
in Disruption Era” di PT Angkasa Pura 1 saat tak sengaja melihat notifikasi
berita baru di Kumparan Dan Detik.com terkait Harley Davidson dalam
pesawat Garuda. Sekali lagi, Garuda terlibat skandal, setelah sebelumnya
terbukti melakukan rekayasa laporan keuangan. Mengingat Garuda seringkali lolos
dari masalah, saya terus mengikuti beritanya.
Semua drama
hanya terjadi dalam hitungan jam. Dari penyangkalan kepemilikan Harley Davidson
dan sepeda Brompton, keterangan Bea Cukai, Konferensi Pers Menteri Keuangan Sri
Mulyani, permintaan Menteri BUMN Erick Thohir agar Ari Askhara mengundurkan
diri, pemecatan Ari Askhara hingga pemberhentian beberapa direksi Garuda
semuanya terjadi hanya dalam hitungan jam.
Sekadar menarik ingatan publik kasus
ketidakjujuran Garuda juga pernah terjadi pada 24 April 2019 lalu. Garuda di
bawah kepemimpinan Ari Askhara mengumumkan perusahaan tersebut berhasil
mencetak laba bersih sebesar 809.840 dollar AS. Angka ini meningkat tajam dari
tahun 2017, di mana saat itu Garuda merugi hingga 216,58 juta dollar AS.
Namun, laporan keuangan Garuda yang membaik justru
ditolak oleh dua komisarisnya. Chairul Tanjung dan Dony Oskaria. Penolakan itu
berkaitan dengan perjanjian kerja sama antara Garuda dengan PT Mahata Aero
Teknologi dan PT Citilink Indonesia yang diperkirakan menuai kerugian sebesar
244,95 juta dollar AS. Manajemen Garuda Indonesia dituding telah “memoles”
laporan keuangannya. Laporan keuangan itu pun sempat menjadi polemik di tengah
masyarakat, sehingga memaksa Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) melakukan investigasi terhadap laporan keuangan maskapai pelat merah itu.
Hasilnya, pemerintah meminta Garuda membuat
ulang laporan keuangannya. Luhut Pandjaitan dengan tanpa tedeng aling-aling
meminta Garuda tak lagi berbohong. Pada laporan keuangan yang baru, Garuda
Indonesia mencatatkan rugi bersih sebesar 175,02 juta dollar AS atau setara
Rp2,45 triliun dari sebelumnya laba sebesar 5,01 juta dollar AS.
Rekayasa keuangan adalah aib besar bagi
korporasi yang juga akan berimbas pada kepercayaan publik terhadap direksi.
Namun menariknya, Menteri BUMN ketika itu justru tak mencopot Ari. Menderaskan
pertanyaan bagaimana ia bisa terpilih?
CEO dan Godaan
Kosmetika Akuntansi
Setiap
profesi memiliki indikator kinerjanya masing-masing. Striker sepakbola mengejar jumlah gol. Aktor mengejar piala Oscar.
Penyanyi mengejar Grammy. Maka CEO mengejar laba. Laba berarti citra. Maka demi
mengejar laba banyak CEO tergoda mengutak-atik laporan keuangannya. Inilah yang
dimaksud kosmetika akuntansi, agar tampak cantik bagi investor dan shareholders.
April lalu, Saham General Electric Company
(General Electric/GE) mengalami penurunan terbesar dalam satu dekade terakhir,
tepatnya sejak April 2008, pada penutupan perdagangan bursa Amerika Serikat
(AS) Kamis (15/8). Saham ini ditutup turun 11 persen ke level US$ 8,01 per
saham. Akibatnya, nilai kapitalisasi pasar GE turun dari posisi Rabu (14/8)
sebesar US$ 78,8 miliar menjadi US$ 69,9 miliar setelah harga sahamnya
mengalami penurunan pada penutupan perdagangan Kamis 15 Agustus lalu.
Anjloknya saham GE merupakan buntut
dari laporan yang mengklaim bahwa perusahaan multinasional ini telah
memanipulasi laporan keuangannya untuk menyembunyikan masalah keuangan
perusahaan. Laporan Harry Markopolos ini berpotensi mengantarkan GE ke gerbang
kebangkurutan, sama seperti yang dialami perusahaan energi asal AS Enron pada
2002 dan perusahaan telekomunikasi WorldCom pada 2003 lalu.
Ketika itu
Enron memiliki aset sebesar US$ 63 miliar, sehingga kebangkrutannya saat itu
menjadi sejarah kebangkrutan perusahaan terbesar di AS. Sementara itu WorldCom
memilik aset US$ 107 miliar ketika dinyatakan bangkrut. Menurut Markopolos yang
ia temukan pada GE hanyalah puncak dari gunung es. GE, menurutnya, memiliki
sejarah panjang penipuan akuntansi yang dimulai sejak 1995, ketika masih
dipimpin oleh CEO Jack Welch. Tudingan manipulasi laporan keuangan GE kini
sudah dalam penyelidikan federal di AS.
Godaan financial
engineering ini memang dekat dengan kehidupan para CEO di dunia. Hal itun
dilakukan demi mendongkrak laba, menaikkan citra dan reputasi serta
meningkatkan harga saham dan menarik investor baru. Sebuah kejahatan yang “common” bagi CEO yang tak berintegritas.
Namun menyelundupkan motor tua dan dua buah
sepeda yang tak seberapa harganya itu sungguh di luar dugaan dilakukan oleh
seorang CEO yang baru saja didera sangkaan penipuan laporan keuangan. “Sedih”
adalah kata yang meluncur dari mulut Erick Tohir. Tanda ia tak lagi tahu apa
yang harus dikatakan saat CEO yang harusnya memberi teladan justru berlaku bak
kriminal.
Statement of the Year “Ampun, Ampun”
Menarik bagi saya sebagai praktisi komunikasi untuk menganalisis bagaimana
reaksi tim komunikasi sebuah perusahaan jika CEO nya bermasalah. Bagaimana
mereka bekerja melindungi atasan yang jelas-jelas melanggar hukum. Untuk
mengetahui itu dalam kasus Garuda; berikut kita amati statement para spokepersons
Garuda sebelum kebenaran terungkap dan Menteri BUMN Erick Tohir memecat Ari
Ashkara.
Tanggal 2 Desember 2019, kabar masuknya Harley
Davidson dan sepeda Brompton ilegal sudah mulai tercium awak media. Namun
demikian di hari itu pihak Garuda belum memberi tanggapan. Satu hari kemudian,
Tanggal 3 Desember 2019 Ikhsan Rosan, Vice President Corporate Secretary Garuda
Indonesia, mengelak bahwa “Onderdil yang dibawa oleh karyawan Garuda yang onboard dalam pesawat tersebut juga
telah melalui proses kepabeanan di Delivery Center Airbus di Toulouse,
Prancis.” (Detik.com). Pada hari tersebut
Iksan tidak mengakui bahwa barang itu adalah milik sang direktur. Disebutlah
inisial karyawan Garuda yang memiliki kargo tersebut. Menarik bagaimana proses
lobi dan negosiasi hingga ada orang yang bersedia pasang badan untuk mengakui barang
tersebut.
Kebohongan ini akhirnya terkuak pada 5 Desember
2019. Usai rapat dengar pendapat di DPR, wartawan melemparkan pertanyaan kepada
Direktur Niaga Garuda Indonesia Pikri Ilham Kurniansyah terkait pemberhentian
Ari Askhara. Akan tetapi, Pikri tutup mulut dan berlari menuruni tangga darurat
menjauhi awak media. “Ampun ya, ampun,” ucapnya menghindari awak media.
Ampun, ampun? Jika anda belajar communicating in crisis tentu statemen ini tidak ada di list “do” pasti ia masuk di list “don’ts”. Mengapa mereka mengatakannya?
Karena para spokeperson Garuda ini
terperangkap, terpojok pada ketidakjujuran yang dibangun oleh pemimpin nya yang
kemudian mereka dukung bersama-sama. A
truth can walk naked. But a lie
always needs to be dressed. Mereka melanggar prinsip utama kerja public relations yaitu 1) Honest communication for credibility, 2)
Openness and consistency of action for
confidence dan 3) Fairness of action
for reciprocity and goodwill.
Sayangnya, ketika kebohongan terungkap mereka
lagi-lagi gagal mempraktekkan prinsip komunikasi paling penting dalam krisis “Tell it all, tell it full, tell it fast”.
Mereka masih juga tak terbuka. Mendorong Menteri BUMN, Erick Tohir mencopot
mereka semua.
Sukses melewati skandal rekayasa laporan
keuangan, kini direksi Garuda jatuh karena tergoda barang bekas dan dua buah
sepeda baru. Kejadian buruk akhir tahun yang semoga kita bisa mengambil hikmah.
Boleh-boleh saja membela atasan. Namun integritas harus tetap dijaga. Jika
jalan tak lagi sama, berpisah lebih mulia daripada menggadaikan integritas.
On matters of style you can swim with current. On matters
of principles you have to stand like a rock. Lori Goler, Janelle Gale,
Brynn Harrington dan Adam Grant dalam Harvard Business Review, edisi Januari
2018 menulis “People don’t quit a job,
they quit a pemimpin”. Nasihat yang
baik untuk para PR, spokeperson dan
karyawan pada umumnya, untuk memilih pemimpin yang layak untuk dibela. Pemimpin yang memiliki integritas.