Edukasi Publik Kunci Keterbukaan Informasi
Oleh: Freddy Tulung
Pemerhati Keterbukaan Informasi Publik, Mantan Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo
UU No.14 Tahun 2008 merupakan UU yang agak unik karena inisiatifnya utama tidak datang dari pemerintah atau parlemen, tapi dari organisasi masyarakat (ormas), LSM dan sebagainya. Inisiatif UU tersebut sudah dimulai sejak tahun 1999 atau satu tahun setelah reformasi yang bertujuan untuk mempercepat proses demokratisasi. Paradigma yang dibangun ketika itu adalah untuk meredam atau mengurangi kekuatan rezim Orde Baru yang didominasi militer.
Ketika itu pada tahun 1999-2005 terdapat tiga Rancangan Undang Undang (RUU) yang menjadi agenda penting untuk mempercepat proses demokratisasi. Tiga RUU tersebut adalah RUU Intelejen, RUU Pertahanan Negara dan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) yang semuanya merupakan bagian dari proses konsolidasi demokrasi.
Lantaran adanya konsensus politik maka disepakati RUU yang digodok menjadi UU adalah RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik. RUU tersebut didahulukan sebagai awal dari tahapan demokratisasi. Dalam perkembangannya ternyata hanya RUU KMIP yang dikedepankan menjadi UU. Hanya saja dalam pembahasannya substasi RUU tersebut disederhanakan sebagai bentuk konsesi politik.
Diantaranya nama RUU yang sebelumnya bernama RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik menjadi UU Keterbukaan Informasi Publik. Itupun hanya keterbukaan kepada badan publik saja. Perlu waktu depan tahun untuk merealisasikan RUU tersebut menjadi UU Keterbukaan Informasi Publik.
Karena saat itu merupakan masa konsolidasi demokratisasi, maka perubahan nama tersebut tidak terlalu dipermasalahkan. Pada masa itu relevan saja karena logika berpikirnya ketika itu, dengan adanya UU Keterbukaan Infomasi Publik dapat menumbuhkan transparansi dan akuntabilitas pada lembaga publik dalam merencanakan dan menjalankan kebijakan publiknya. Adanya keterbukaan informasi akan menumbuhkan transparansi sehingga muncul akuntabilitas yang pada akhirnya akan memunculkan partisipasi masyarakat.
Memang kehadiran UU Kebebasan Informasi Publik tersebut sempat dipertanyakan sejumlah pihak, lantaran mengikutsertakan BUMN sebagai bagian lembaga publik. Padahal BUMN merupakan badan usaha berbentuk perseroan terbatas (PT) yang berarti harus tunduk pada UU Perseroan Terbatas. Keterlibatan BUMN dalam keterbukaan informasi publik bukan semata karena permodalan BUMN tetapi justru karena ada label ‘Milik Negara ‘ sehingga ada bagian dari UU KIP yang menyinggung keterbukaan informasi
Edukasi Publik
Namun dalam perkembangan selanjutnya, substansi UU Keterbukaan Informasi Publik tersebut sudah sangat out of date, karena peranan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) justru sama sekali tidak disentuh. Bisa dibayangkan, UU tersebut dipersiapkan pada tahun 1999 lalu diundangkan 2008 dan hingga 2023 belum pernah diamandemen.
Kalau melihat hasil monitoring, indeks keterbukaan dalam dua tahun terakhir sudah masuk kategori sedang. Tetapi asumsi bahwa keterbukaan dapat meningkatkan akuntabilitas badan publik, ternyata tidak juga. Tingkat korupsi masih tinggi dengan indeks korupsi pada 2020 pada skor 37 dan rangking 102 di dunia. Tahun 2021 skor mencapai 38 sedangkan rangkingnya turun menjadi 96. Demikian pula dengan kebebasan pers, tahun 2021 skornya mencapai 62,60 pada peringkat 113 dari 180 negara. Tahun 2022 skor menapai 49,27 pada peringkat 117.
Jika melihat indikator tersebut memang implikasinya tidak lagi relevan. Dalam pengertian, tidak mungkin demokrasi melalui partisipasi publik dapat ditingkatkan hanya dengan UU Keterbukaan Informasi Publik.
Dalam hal ini peran BUMN adalah untuk memperluas jangkauan. Hanya saja secara keseluruhan relevansi antara keterbukaan dengan peningkatan akuntabilitas publik juga belum terbukti. Apalagi bila dikaitkan dengan peningkatan partisipasi publik, masih jauh. Untuk itu dalam membangun keterbukaan informasi publik pada BUMN kata kuncinya adalah e sdukasi publik.
Terkait persoalan kebijakan informasi publik salah contohnya banyak terjadi kasus konflik pembebasan tanah terkait proyek-proyek pemerintah yang bersentuhan dengan BUMN. Diantaranya kasus pembebasan lahan untuk proyek jalan tol, bendungan, perkebunan dan sebagainya.
Keterbukaan informasi publik tidak bisa hanya dilihat dalam konteks demokratisasi. Hal itu melekat pada lembaga badan publik. Bila dikaitkan dengan BUMN maka konteks utama keterbukaan informasi publik harus dilihat dari kacamata edukasi pubik. Bagaimana eksistensi dari BUMN –BUMN tersebut dapat memberikan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Misal BUMN perbankan, BUMN Pertambangan, BUMN Energi, BUMN Perkebunan dan sebagainya.
Untuk itu kewajiban BUMN adalah melakukan edukasi publik supaya eksistensi BUMN tersebut tidak semata-mata mengedepankan profit tetapi juga memberikan implikasi positif secara langsung dan tidak langsung. Dengan demikian dapat menunjang kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut yang belum menjadi concern para pengelola BUMN sekaligus merupakan kekurangan dari UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Yang juga masih menjadi catatan, transparansi yang dilakukan BUMN tidak terkait langsung dengan pemberantasan korupsi.