BUMN harus Ciptakan Value Creation
Oleh: Dr. Toto Pranoto
Managing Director LM FEB Universitas Indonesia
Bila berbicara mengenai BUMN yang merugi saya kira kita bisa pilah masalahnya. Terutama menyangkut BUMN yang sudah diberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) tapi masih rugi. Kalau PMN tersebut diberikan kepada BUMN dengan tugas public service obligation (PSO) yang besar seperti yang dilakukan PLN atau Hutama Karya, saya kira masih normal saja. Yang menjadi problem adalah kalau BUMN sudah dikasih PMN tapi karena salah kelola sehingga menyebabkan inefisiensi dan merugi, BUMN model ini perlu ditransformasi secara radikal.
Dalam beberapa kasus, PMN itu memang dibutuhkan BUMN karena salah satu fungsi BUMN adalah peningkatan layanan publik. Misalnya, PMN untuk Perum Jamkrindo dalam rangka meningkatkan akses penjaminan bagi sektor mikro-kecil. Dengan menerima PMN, diharapkan banyak sektor mikro yang naik kelas. Jadi, ukuran kinerja buat BUMN seperti ini semestinya bukan profit, tapi seberapa jauh kemampuan efisiensi dan memberikan layanan prima.
Dalam kasus Hutama Karya, maka PMN dibutuhkan karena digunakan untuk pembiayaan infrastruktur tol yang tidak mungkin hanya mengandalkan dana korporasi. Jadi tergantungcase -nya. Bila ada BUMN yang sudah diberi PMN tapi masih rugi, padahal sebagian besar tujuannya adalah profit oriented, BUMN tersebut perlu direstrukturisasi total. Tidak perlu diberi PMN lagi. Opsi restrukturisasi bisa termasuk mengundang strategic investor masuk sehingga tidak membebani APBN.
Terkait penataan BUMN, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, sekarang akan fokus terlebih dahulu membentuk subholding BUMN. Dalam pemahaman saya, sebenarnya keduanya (sektoral holding dan subholding) hampir mirip. Kedua sektoral holding yang digabung adalah BUMN-BUMN yang sejenis. Misal BUMN Pelindo dijadikan satu, atau BUMN Angkasa Pura juga dijadikan satu. Sedangkan sub holding basisnya adalah value chain.
Jadi kalau kita hendak membangun cluster industri pertahanan, bisa melibatkan Krakatau Steel sebagai BUMN yang menyediakan baja, BUMN yang fokus memproduksi alat-alat pertahanan, ada Pindad, PAL, Dirgantara Indonesia dan lain-lainnya. Jadi, dalam cluster tersebut dibangun apa yang disebut value chain.
Sehingga penataan BUMN secara sektoral holding atau subholding, yang terpenting adalah agar BUMN menciptakan value. Kalau dibentuk sektoral holding tetapi value creation-nya tidak besar dibanding jumlah BUMN yang bergabung dalam holding tersebut, itu tidak akan optimal. Idealnya, bila ada lima perusahaan dijadikan dalam satu holding, value-nya harus ada delapan, bukan lima. Maka yang harus dikejar BUMN adalah cara menciptakan value tersebut. Banyak cara meningkatkan value. Misalnya dengan meningkatkan revenue atau melakukan efisiensi.
Bila ide subhoding dijalankan dan kita bisa membuat beberapa cluster BUMN yang kuat kita bisa bersaing lebih kuat menghadapi para kompetitor di luar negeri. Maka keinginan Presiden Jokowi agar ke depan ada tambahan BUMN kita masuk dalam“Fortune Top Five Hundred” bisa saja terealisasi.
Sebetulnya tidak terlalu kelihatan perbedaan mendasar antara sektoral atau cluster holding. Kecuali pengelompokan cluster holding saat ini didasarkan pada basis value chain nya. Hal yang lebih kritikal adalah bagaimana implementasi holding bisa dilaksanakan dengan efektif, sehingga nilai holding lebih besar dibandingkan bila masing-masing BUMN stand alone. Titik pentingnya adalah melakukan post merger integration (PMI) dengan smooth. Ini persoalan bagamana menyatukan visi-misi,corporate culture dan strategi operasional holding supaya bisa diterima semua pihak dan menghasilkan value yang meningkat. Kalau PMI tidak berjalan mulus maka dipastikan peningkatan value juga tidak akan optimal.
Lantas apakah BUMN ke depan masih berpotensi “dimainkan” politisi? Kalau terkait hubungan BUMN dan politisi, sistem GCG sudah diatur di BUMN dengan ketat. Penegakan GCG juga sudah diimplementasikan Menteri Erick Thohir dengan cukup agresif. Lantas, apakah BUMN masih bisa dikorupsi? Sepanjang ekosistem BUMN masih abu-abu, belum bersih sepenuhnya, maka kemungkinan korupsi masih bisa terjadi.
Misal, kalau lingkup BUMN sudah relatif bersih namun stakeholder masih agak kotor, maka BUMN bisa jadi akan kembali kotor. Salah satu upaya jalan keluarnya adalah meningkatkan jumlah BUMN go public. Dengan cara ini, karena kewajiban GCG sebagai perusahaan terbuka (Tbk), maka upaya intervensi paling tidak bisa dikurangi.
Menurut saya, Menteri Erick Thohir hanya mewarisi saja dampak dari penerapan GCG yg rada “amburadul” di era sebelumnya. Poin pentingnya adalah, ia berusaha melakukan penegakan GCG tanpa tebang pilih. Ini yang harsu dijaga dengan konsisten, karena memberikan signal kepada seluruh pengelola BUMN bahwa law enforcement ditegakan tanpa pandang bulu.
Yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi Erick Thohir adalah menetapkan target dan strategi besar untuk lima tahun ke depan. Saya belum melihat adanya grand strategy, terkait apa yang hendak dikembangkan dalam lima tahun ke depan dalam mencapai tujuan yang diinginkan Presiden. Misal yang berkaitan dengan keinginan“BUMN Going Global “ atau menambah jumlah BUMN yang bisa listed di “Fortune 500”. Padahal, kalau strategi besar sudah ditetapkan, maka akan muncul program-program prioritas untuk dikerjakan setiap tahun.
Salah satu pekerjaan besar bagi BUMN adalah menciptakan value. Pada era Menteri BUMN Rini Soemarno, penciptaan value BUMN dilakukan dengan cara membentuk super holding melalui beberapa sektoral holding. Maka saat ini ada sudah terbangun beberapa hodling, di antaranya holding BUMN Pertambangan di mana PT Inalum sebagai leader-nya. Atau holding BUMN energi di mana Pertamina sebagai leader dan Perusahaan Gas Negara (PGN) kini berada di bawah Pertamina.
Adapula rencana-rencana pembentukan holding lain, namun ketika Erick Thohir menjadi Menteri BUMN, beberapa rencana tersebut sedikit direm. Konsep super holding pun berubah tidak lagi menjadi sektoral holding tetapi menjadi clustering. Dalam pemahaman saya, clustering lebih kepada bagaimana mengelola supply chain. Bila BUMN masuk dalam satu rangkaian supply chain maka clustering BUMN bisa berjalan. Berbeda dengan konsep sebelumnya, yakni sektoral holding, di mana BUMN yang sejenis dimasukan dalam satu holding sehingga ada faktor-faktor risiko yang bisa kita bandingkan.
Dalam konteks penguatan BUMN, salah satu kunci penting agar BUMN kita bisa bersaing lebih baik lagi adalah mereka harus memiliki talenta SDM dengan kualifikasi sangat bagus. Pemilihan kandidat pemimpin BUMN harus diperhatikan kualitasnya. Mulai dari segi visionary leadership, strategic orientation dan kemampuan untuk innovation and creativity. Pemimpin BUMN yang terpilih nantinya harus memiliki visi yang kuat dan kemampuan jangkauan berpikir lebih strategis, serta bisa menghadapi perubahan dinamika-dinamika bisnis.
anaging Director The Management Institute Universitas Indonesia Toto Pranoto menyebut ada
Ads by Kiosked
“Saya belum melihat atau mendengar dengan cukup jelas tentang program-program tersebut,” tutur Toto. “Perlu ada target yang jelas untuk 4-5 tahun ke depan, tentukan strategi besarnya, dan action program yang akan dieksekusi setiap tahunnya, bisa saja mengikuti atau modifikasi program periode sebelumnya atau bikin masterplan BUMN yang baru.”
“Pembenahan yang dilakukan di Kementerian BUMN terutama terkait isu penegakan Good Corporate Governanve dan penempatan pejabat baru pimpinan Badan Usaha Milik Negara yang kredibel patut diapresiasi,” ujar Toto.