Menaikan Harga BBM, Cara yang Tidak Kreatif
Bumntrack.co.id. Jakarta – Pengumuman kenaikan harga BBM bersubdisi yang dilakukakan pemerintah, pada 3 Januari lalu, dilakukan di waktu yang tidak tepat. Apalagi pemerintah masih bisa melakukan beberapa pilihan kebijakan untuk menambal APBN yang dikhawatirkan defisit bila terlalu banyak menanggung subsidi energi yang sudah mencapai Rp502,4 triliun tersebut. Dalam konteks ini, pemerintah tidak kreatif mencari solusi. Artinya pemerintah tanpa perlu bekerja keras hanya mengumumkan kenaikan harga BBM lalu merubah meteran SPBU secara singkat. Padahal masih banyak opsi yang dikerjakan untuk mempertahankan harga BBM, dengan ruang fiskal yang masih tersedia.
Selain itu, mekanisme pembatasan subsidi BBM seharusnya dilakukan dulu, karena sejak 2014-2022 isunya masih saja sama yakni BBM tidak tepat sasaran. Artinya, sepanjang waktu tersebut pemerintah nyaris tidak pernah melakukan pembatasan apapun. Sebenarnya pemerintah masih mempunyai beberapa opsi untuk menurunkan beban APBN. Sebagai contoh pemerintah dengan mudah bisa melakukan penghematan belanja birokrasi yakni belanja pegawai dan belanja barang pemerintah pusat yang ditotal angkanya melebihi Rp810 triliun.
Jika dari Rp810 triliun tersebut diambil saja 20 persen untuk penghematan, maka pemerintah bisa lakukan realokasi ke belanja subsidi energi sebesar Rp162 triliun. Belum termasuk belanja pembayaran bunga utang yang dapat dihemat melalui skema debt services suspension initiative (DSSI) atau penundaan pembayaran bunga sementara. Kalau pemerintah ingin melakukan pembatasan BBM subsidi pun jauh lebih kreatif dengan memangkas kebocoran solar subsidi yang selama ini dinikmati perusahaan tambang dan perkebunan skala besar.
Dalam kondisi ekonomi melambat bahkan bayangan inflasi bisa naik 6-7 persen akhir tahun ini, BUMN sebaiknya melakukan lima hal. Pertama, mencari partner strategis dibandingkan mengandalkan pembiayaan utang yang bunganya terus meningkat akibat inflasi. BUMN bisa melakukan joint venture dalam pembangunan proyek infrastruktur.
Kedua, melakukan efisiensi pada semua lini, termasuk pencarian bahan baku yang lebih terjangkau. Ketiga, memaksimalkan integrasi di dalam holding dan sub-holding BUMN agar terjadi rantai pasok yang efektif dan efisien. Keempat, berani menunda penugasan yang memberikan dampak terhadap likuiditas BUMN. Kelima, mencari pendanaan kreatif, misalnya green sukuk hingga sustainable link bond.
Dalam kondisi ekonomi seperti sekarang ini maka sektor yang bisa dikembangkan adalah telekomunikasi dan informasi. Termasuk penunjang digitalisasi seperti big data, cloud computing, artificial intellegent (AI) yang dibutuhkan oleh berbagai perusahaan. Kemudian ada bisnis pergudangan dan pelabuhan yang masih menjanjikan karena volume ekspor-impor belum sesuai dengan kapasitas yang ada. Begitu pula sektor energi baru terbarukan (EBT) juga mempunyai prospek cukup baik. Apalagi pemerintah berkomitmen mencapai net zero carbon emission pada 2060.
Hal lain, dalam kondisi sekarang Menteri BUMN menargetkan dividen Rp43 triliun pada 2023. Di sisi lain, BUMN juga mendapatkan penugasan yang tidak bisa berorientasi profit yakni berupa public service obligation (PSO). Disinilah pentingnya komunikasi yang jujur dan terbuka dengan pemerintah sebagai pemegang saham utama BUMN. Bahwa tantangan penugasan ke depan bisa membuat ruang gerak BUMN terbatas. Misalnya, beberapa proyek mengalami cost overun karena terjadi kenaikan biaya-biaya material, jasa konstruksi dan bunga naik. Kalau memang penugasan ada yang bisa di-cover PMN -APBN mungkin tidak masalah, tetapi kalau penugasan diminta BUMN mencari pendanaan sendiri tentu berbeda.
Ada usulan agar pemerintah memberikan pajak tinggi pada komoditas yang sedang bagus di pasar global. Kalau pemerintah mau, ide-ide untuk melakukan kreatifitas dengan meningkatkan royalti batubara misalnya itu bisa langsung diubah aturannya. Kemudian untuk nikel dimana pajak ekspor bisa dinaikkan juga masuk akal untuk bantu penerimaan negara. Karena tidak fair, sektor komoditas menikmati booming harga, tapi masyarakat menanggung naiknya biaya hidup.
Begitu pula untuk Proyek Ibu Kota Negara (IKN) tidak harus dibangun pada 2022 atau selesai pada 2024. Jadi mega-proyek yang besar-besar di tengah investasi swasta sedang cari aman karena ancaman resesi, sebaiknya dipertimbangkan untuk di-hold atau ditunda terlebih dulu.
Dampak dari kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut, Indonesia bisa terancam stagflasi. Sebuah kondisi naiknya laju inflasi yang signifikan tetapi tidak dibarengi dengan terbukanya kesempatan kerja. Ingat, persoalan kenaikan harga BBM ini bukan semata soal harga energi, atau kenaikan biaya transportasi kendaraan pribadi. Sebab, hampir semua semua sektor usaha akan terkena dampak dari kenaikan harga BBM tersebut. Biaya pengiriman bahan pangan akan naik. Pada saat bersamaan, pelaku sektor pertanian mengeluhkan biaya input produksi yang mahal, terutama pupuk.
Tingkat inflasi bahan makanan yang masih tercatat tinggi. pada Agustus lalu sudah 8,55 persen secara year on year, bahkan inflasi berpeluang semakin tinggi. Diprediksi, inflasi pangan akan kembali menyentuh double digit atau di atas 10 persen per tahun pada September ini. Sementara itu, inflasi umum diprediksi bisa menembus di level 7 sampai 7,5 persen hingga akhir tahun. Akibatnya, lonjakan inflasi bakal memicu kenaikan suku bunga secara agresif. Konsumen ibaratnya akan jatuh tertimpa tangga berkali-kali. Belum sembuh pendapatan dari pandemi, kini sudah dihadapkan pada naiknya biaya hidup dan suku bunga pinjaman. Karena pemerintah terkesan tidak banyak berbuat maka kebijakan menaikan harga BBM merupakan mekanisme yang paling tidak kreatif.
Ditulis oleh:
Bhima Yudhistira
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios)