Pandemi Covid-19, Pembelajaran Pentingnya Menekan Impor
Oleh: Eko Listiyanto
Vice Director INDEF (Institute for Development of Economics and Finance)
Secara umum, peran BUMN dalam membantu pencegahan penyebaran Covid-19 belum optimal, meskipun sudah ada beberapa upaya yang dilakukan BUMN untuk membantu pemerintah seperti membangun rumah sakit dan sebagainya. Sebenarnya masih banyak hal yang dapat dilakukan BUMN, tetapi persoalannya adalah terkait keuangan.
Seperti diketahui, sebagian besar BUMN kita masih belum bisa menghasilkan profit. Hanya sekitar 10 persen dari 142 BUMN yang menghasilkan keuntungan. Maka yang terjadi hanya sedikit BUMN yang mampu membantu dalam penanganan Covid-19 secara maksimal. Sementara beberapa BUMN kecil belum bisa membantu karena mengurus dirinya sendiri saja masih belum mampu.
Salah satu aspek penting dalam penanganan Covid-19 adalah yang berkaitan dengan kesehatan. Kalaupun BUMN tidak dapat langsung membantu ke ‘jantung persoalan’, yakni sisi kesehatan, masih bisa masuk dari sisi pangan. Untuk itu BUMN tersebut perlu memiliki strategi khusus, terutama berkaitan dengan penyaluran distribusi. Termasuk bagi BUMN Pupuk, penting untuk mendukung ketahanan pangan di era pandemi mengingat kondisi ini belum tentu bisa selesai dalam satu hingga dua bulan ke depan.
Dalam era pandemi ini, hampir semua negara penghasil pangan mengurangi ekspor pangannya. Mereka lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri sendiri. Kita juga harus berusaha agar BUMN-BUMN terkait sektor strategis bisa terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Bagi BUMN yang tidak berada di pusat pandemi, tetap bisa berkontribusi namun lebih pada taraf kesiapsiagaan, atau lebih kepada kegiatan pendukung dalam pencegahan Covid-19. Adapun bagi BUMN yang berada di zona merah Covid-19, memang perlu lebih intensif membantu pemerintah.
Begitu pula terkait imbauan Menteri BUMN agar dana-dana CSR milik BUMN dialokasikan untuk membantu penanganan Covid-19. Hal tersebut perlu dilihat terlebih dulu karakteristik CSR tersebut. Biasanya, CSR lebih bersifat pemberdayaan ke daerah-daerah yang bersifat economic oriented atau lingkungan. Ini tidak boleh kita lupakan. Jangan sampai kegiatan mereka terganggu karena dana CSR-nya dialihkan untuk penanganan Covid-19. Padahal, di daerah tersebut belum tentu ada kasus Covid-19.
Selain itu, bila dana CSR BUMN terlalu banyak diarahkan ke pusat pandemi, nanti akan muncul banyak persoalan baru, yakni keberlanjutan dari CSR tersebut. Terutama berkaitan dengan aspek pemberdayaan dan lingkungan. Bila mereka sudah terbiasa menerima dana CSR dan sudah ada program yang berkelanjutan, sebaiknya program tersebut terus dijalankan.
Sedangkan saat ini pengadaan alat kesehatan (alkes) dan alat pengamanan diri (APD) langka di pasaran. Kalau pun ada, harganya sudah mahal. Termasuk, adanya bahan baku obat yang masih bergantung pada impor, seharusnya makin menyadarkan para pembuat kebijakan di negeri ini, bahwa ketergantungan impor yang tinggi akan membebani negara. Dalam kondisi seperti sekarang, contohnya, banyak negara yang membutuhkan bahan baku obat. Akhirnya kita menjadi kesulitan. Ini kesalahan kebijakan sejak dahulu karena tidak ada kebijakan grand strategy untuk mengurangi ketergantungan impor pada bidang kesehataan. Termasuk roadmap industri farmasi yang juga urung dijalankan.
Belakangan, ramai dibicarakan mengenai mafia yang bermain di balik pengadaan alat kesehatan. Lantas, jika memang demikian, harus dilihat kembali. Bila selama berpuluh-puluh tahun yang mengimpor hanya perusahaan-perusahaan yang sama, berarti ada persoalan secara market. Namun diluar itu, bila Menteri hendak melakukan gebrakan perubahan tentunya harus menyiapkan grand strategy agar ke depan bisa mengurangi ketergantungan impor. Yang sudah terjadi tentu tidak bisa ditarik ulang. Tetapi ke depan, pengurangan ketergantungan impor harus dijalankan. Memang ini tidak bisa dikerjakan dalam jangka pendek, tetapi setidaknya, adanya pandemi Covid -19 mengingatkan kita akan pentingnya membangun kema bangsa di berbagai sektor, terlebih sektor kesehatan.
Langkah selanjutnya, kita harus menyiapkan strategi untuk mendorong pengembangan industri alat kesehatan dan industri farmasi dalam negeri. Ini yang paling penting dilakukan. Indonesia mempunyai resources yang cukup untuk melakukan itu. Apalagi, kita mempunyai holding BUMN farmasi yakni Bio Farma, Indofarma dan Kimia Farma.
Kalau pemerintah hendak mengurangi impor obat dan alat kesehatan, tentu akan ada perusahaan impor yang terganggu. Karena itu, strategi menekan impor bahan baku obat harus dijalankan oleh orang yang punya integritas kuat. Ini seharusnya sudah dibaca oleh pemerintah dan Kementerian sehingga tidak sekadar memerlukan desain dan manajemen yang bagus untuk menjalankan strategi tersebut, tetapi juga membutuhkan leadership yang mumpuni. Bila perlu dilakukan evaluasi atau monitoring setiap semester.
Bila tujuan pemerintah mengurangi impor bahan baku obat tetapi jumlah impor setiap semester bertambah, berarti langkah ini tidak berhasil. Ketika dalam kondisi pandemi seperti sekarang kenaikan impor tentu tidak bisa dihindari, tapi bila kondisi normal seharusnya bahan baku obat impor bisa ditekan. Dengan adanya Holding BUMN Farmasi, ke depan seharusnya sudah bisa menekan ketergantungan bahan baku obat.
Akibat pandemi Covid -19, pemerintah meminta masyarakat agar bekerja dan belajar dari rumah. Hal ini membutuhkan kesiapan perangkat telekomunikasi serta jaringan internet yang baik dan murah. Bila BUMN telekomunikasi menyediakan paket internet murah seperti di Malaysia, meski menarik tapi tidak yakin langkah ini akan menyelesaikan permasalahan. Sebab, negara juga masih membutuhkan dana dari BUMN.
Meski demikian, pemerintah tidak boleh berdiam diri. Persoalannya, pemerintah harus memilah dan memilih. Bila internet digratiskan, tentu keuangan BUMN atau negara akan jebol. Untuk itu harus memikirkan pula sumber pendapatannya. Maka langkah yang bijak adalah membuat paket-paket internet untuk publik. Meski tidak gratis tetapi diupayakan biaya mengakses internet menjadi lebih murah.
Dalam masa pandemi ini, bisnis BUMN pun terdampak sehingga berimbas pada pendapatan perusahaan. Namun mungkin saja ada beberapa BUMN yang mendapatkan wind fall seperti BUMN telekomunikasi, BUMN energi, dan BUMN terkait kesehatan, sedikit banyak diuntungkan dalam kondisi seperti ini.
Memang idealnya perlu ada dispensasi biaya internet, karena kita diminta untuk work from home. Tetapi problemnya, bila semua minta digratiskan, dari mana sumber pendapatan negara? Apalagi defisit APBN makin melebar. Maka win-win solution-nya adalah membuat aplikasi atau paket internet yang dikhususkan untuk sektor publik. Upaya ini bisa bekerja sama dengan para ahli teknologi, seperti yang sudah diterapkan pada subsisidi listrik dengan di-setting menggunakan sistem kode, sehingga bisa diseleksi mana penguna listrik 900 Volt yang layak mendapatkan subisidi, dan mana yang tidak layak.