Pengabdian Sang Jenderal
Petuah Ayahanda menjadi warisan paling berharga dalam perjalanan hidupnya. Buwas memegang prinsip bola bekel, di mana ketika diinjak ia justru semakin melambung tinggi membuktikan kebenaran.
Langit Jakarta masih cukup gelap, tatkala Budi Waseso siap betolak dari kediamannya di kompleks perwira TNI AD Bulak Rantai, Kramat Jati, Jakarta Timur, menuju Gedung BULOG yang berada di bilangan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Sejak ditunjuk menjadi Dirut Perum BULOG pada April 2018, Komisaris Jenderal Polisi berpangkat bintang 3 itu mendisiplinkan diri untuk tiba di kantor pukul 5.30 pagi.
Didikan masa kecil dan petuah yang senantiasa dilontarkan kedua orangtua membentuk karakter Buwas menjadi pribadi yang berani dan berintegritas. Sekelebat kenangan masa kecilnya yang penuh tantangan sekaligus keprihatinan justru semakin menguatkan mentalnya dalam menghadapi berbagai ancaman.
Besar di lingkungan tentara mendorongnya untuk hidup mandiri dan disiplin, terlebih di tengah situasi kritis. “Kondisi negara saat itu masih berperang, kita pun sulit mendapatkan pangan. Beras adalah barang mewah, jadi sehari-hari kami hanya makan jagung dan bulgur. Sesekali, Ibu mencari bonggol pisang untuk penggantinya,” kenangnya membuka perbincangan.
Sang ayah yang seorang anggota TNI kerap meninggalkan keluarganya dalam jangka waktu lama untuk tugas negara. Hidup dengan keterbatasan membuat mereka terlatih untuk survive. “Ayah saya tentara yang kapan pun siap gugur dalam tugas, maka kami dilatih untuk survive, sewaktu-waktu ayah meninggal kita harus bisa hidup,” ungkapnya.
Sebagai ‘anak kolong’, masa kecil Buwas dilalui di lingkungan asrama. Melihat kehidupan tentara yang bak terkurung, beranjak dewasa anak ketiga dari tujuh bersaudara ini terlintas ingin menjadi polisi yang bebas beraktivitas di jalan. Keinginan itu sempat tak mendapat restu sang ayah yang sangat berharap anaknya mengikuti jejaknya sebagai tentara.
Buwas pun mengikuti seleksi Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri). Ternyata, hasil psikotes menempatkan Buwas di kepolisian. Ayahnya pun luluh dan menyerahkan keputusan kepada Buwas. “Ayah sudah bilang bahwa ayah tidak suka dengan profesimu. Tapi kalau ini sudah menjadi pilihanmu, kamu harus tanggung jawab,” ujar lelaki kelahiran 19 Februari 1960 ini meniru kata-kata ayahnya.
Terngiang pula di benak Buwas akan pesan sang ayah saat dirinya berpamitan untuk menjalani tugas pertamanya ke Papua. “Sebagai polisi yang merupakan abdi negara, maka hidupmu adalah pengabdian, ketulusan lah yang harus kamu bangun. Jika kamu tidak sanggup, maka lebih baik mundur dari sekarang, jangan jadi penghianat bangsa,” tutur Buwas mengenang.
Ayahanda juga menantang Buwas untuk meraih pangkat lebih tinggi darinya yang pensiun dengan pangakt kolonel. Bersyukur, di akhir jabatannya di kepolisian, Buwas berhasil menjawab tantangan sang ayah. Ia pensiun dari POLRI dengan pangkat Jenderal Bintang 3. Meskipun pada akhirnya keberhasilan itu tak sempat disaksikan oleh ayahnya karena Tuhan berkehendak lain. Sang ayah, almarhum Dangir Marwoto, berpulang saat Buwas masih berpangkat Letnan Satu.
Resep 3K
Beranjak dewasa, makin banyak pemahaman tentang hidup yang diberikan ayahnya. Petuah itu menjadi mantra bagi ketujuh anaknya. “Ayah saya bilang kamu harus pegang prinsip, jangan lagi berpikiran sekeras baja atau sekeras batu karang, tapi jadilah seperti bola bekel,” ungkapnya.
Ya, baja bisa ditembus dengan peluru anti baja, batu karang bisa dipecahkan dengan air. Filosofi bola bekel mengandung arti, semakin kamu dibenci orang, maka kamu harus semakin melambung membuktikan kebenaran. “Semakin keras ia dibanting, semakin keras ia lompat, begitulah filosofinya. Ayah berpesan, sekali kamu mengabdikan diri, sampai akhir hayat kamu harus mengabdi dengan ikhlas,” imbuh Buwas.
Sang ayah juga berpesan agar anak-anaknya memiliki kebanggaan. Bukan bangga pada status finansial jabatan, tapi bangga karena berbuat hal-hal positif. Karenanya, ia pun diwarisi kunci hidup 3K: Komitmen, Konsisten dan Konsekuen.
Komitmen adalah kunci pertama. Sebab dalam hidup, keputusan apapun harus berlandaskan komitmen. Setelah seseorang memiliki komitmen ia harus menjalaninya dengan konsisten. “Artinya, ketika kamu sudah memilih A di awal maka sampai akhir harus tetap A. Apapun yang terjadi kamu harus hadapi, karena hidup itu ujian,” ungkap Buwas.
Kunci ketiga adalah konsekuen, yang artinya seseorang harus berani menerima konsekuensi atas pilihan hidupnya. Jika suatu saat gagal maka jangan menyerah, evaluasi dan perbaiki diri tanpa mencari kambing hitam atau menyalahkan orang lain. “Kegagalan itu penyebabnya ya diri kita sendiri. Kamu harus evaluasi dan perbaiki diri,” tukas Buwas mengingat wejangan ayahnya.
Tukang Ojek hingga Kuli Bangunan
Di balik keberhasilannya, Buwas menyimpan kisah perjuangan yang getir. Jenderal kharismatik itu pernah bekerja sampingan sebagai tukang ojek, sopir taksi hingga calo bangunan untuk membiayai hidup keluarga. Sebuah vespa biru yang dahulu dijadikan kendaraan untuk mengojek sengaja dipajang di salah satu sudut rumahnya. Itulah saksi perjuangan hidupnya.
Kala itu, buah cintanya dengan Retno
Setyowati telah melahirkan satu anak. Buwas
yang aktif menjadi asisten pengajar di Direktorat
Pendidikan POLRI mengaku penghasilannya tidak cukup. Maka sore hari sepulang mengajar, Buwas bergegas melepas atribut
lalu berubah peran sebagai tukang ojek. Hasilnya ia gunakan untuk membeli bahan
bakar dan makan sehari-hari. Rutinitas ini ia lakukan selama dua tahun.
Selain ngojek,
Buwas juga pernah jadi sopir taksi yang bekerja pada malam hari. Kepada pemilik
taxi, ia mengaku sebagai polisi yang sedang melakukan penyamaran dalam
melaksanakan tugas operasinya. Namun kerja sampingan ini tidak berjalan lama,
Buwas kepergok mertua yang sama-sama sedang mengisi bensin di SPBU daerah Blok
M.
Mantan Kapolda Gorontalo itu terus memutar otak
agar bisa mendapat penghasilan lebih. Dia kembali ngojek dan menjadi suplier
bahan bangunan. Ide jadi suplier
muncul ketika menemukan banyaknya pengerjaan proyek bangunan di sepanjang jalan
menuju rumahnya. Jadilah ia bergabung bersama kuli bangunan lainnya untuk
memasok genteng dan pasir.
Pahit getirnya hidup yang dilalui dijadikan
penyulut semangat bagi ketiga buah hatinya, bahwa tak ada perjuangan yang
sia-sia selama kita menjalaninya dengan sungguh-sungguh dan penuh rasa syukur.
Hobi Berburu
Didikan di lingkungan kepolisian yang keras terkadang membuat emosi Buwas tak terkontrol. Suatu hari, ia dirawat oleh seorang psikiater dari kesatuannya. Ahli kejiwaan itu merekomendasikan Buwas untuk melanjutkan hobi berburunya untuk meredam emosi. Kebetulan, lelaki yang juga menyukai olahraga renang dan bersepeda ini mengenal berburu sejak kelas 3 SD dari ayahnya. “Saya ditanya hobinya apa. Saya bilang salah satunya menembak berburu, itu yang direkomendasikan untuk saya. Katanya, ‘Bapak setiap kali stres atau jenuh mending berburu saja’. Mungkin dipikir daripada saya menembak orang,” kelakarnya.
Jika ada waktu luang, Buwas biasa berburu di daerah Jampang, Sukabumi, Jawa
Barat. Selain menjalankan hobi, berburu yang dilakukan Buwas juga bertujuan
membantu para petani yang lahannya diserang babi hutan. Para penduduk sudah
tahu harus menghubungi siapa bila serangan itu datang. “Begitu ada babi
hutan mendekati sawah, orang di sana telepon ‘Pak sawahnya sudah mulai diserang
babi’, terus saya ke sana, dor, dor, dor enggak usah jauh-jauh ke dalam hutan
lagi kan,” ucap Buwas dengan senyum mengembang.
Buwas juga memberikan modal usaha kepada
penduduk di sana sebagai bagian dari aktivitas sosialnya. Mulai dari modal
untuk pengelolaan sawah hingga penggemukan ikan.
Hingga saat ini hobi berburu masih dijalaninya. Namun, jika rindu berburu tapi tidak sempat ke Jampang, Buwas cukup memasang umpan pancingan untuk tikus. Ia lantas berburu tikus yang berkeliaran di rumahnya.
Kavling ‘Rumah Masa Depan’
Setelah melewati hari-hari yang sibuk, Buwas memilih untuk berdiam diri di rumah saat akhir pekan. Ia membantu pekerjaan rumah serperti menyapu, mengepel, mencuci piring, memasak, berbelanja atau mencuci mobil. “Asisten rumah tangga hanya bekerja ketika kami bekerja. Kalau akhir pekan, pekerjaaan mereka kami ambil alih. Ini juga untuk mengajarkan anak-anak saya agar menghargai pekerjaan asisten rumah tangga,” tutur Buwas.
Ya, kemandirian melekat dengan dirinya sejak kecil. Bahkan hingga kini, ia terbiasa menyiapkan segala perlengkapannya seorang diri. “Saya yang paling tau apa saja kebutuhan saya, sehingga saya tidak pernah bergantung dengan orang lain,” ungkap Buwas.
Bicara tentang kemandirian tidak hanya saat ini, tapi juga masa depan. Bahkan, Buwas yang saat itu masih berpangkat Kombes Pol telah telah menyiapkan kavling kuburan di Parung, Bogor, Jawa Barat untuk rumah masa depannya kelak. Tindakan yang awalnya disambut gusar oleh keluarga besar, khususnya sang istri, kini menjadi bukti betapa Buwas adalah seorang yang cakap dalam mempersiapkan segala hal, termasuk kematiaanya.
Bukan tanpa alasan Buwas lebih memilih mendahului kavling tanah kuburan ketimbang rumah. Dua kejadian yang dialami keluarganya saat menghadap Sang Khaliq menjadi pengingatnya. “Akhirnya saya berpikir dan berbicara dalam hati, semua ini bisa terjadi oleh siapa saja, kapanpun di manapun. Maka saya harus persiapkan segalanya dengan baik. Itulah keikhlasan yang harus dibangun terus menerus,” pungkasnya dengan tatapan menenangkan.