KOLOM PAKAR

Subholding Berbasis Value Chain

Oleh: Toto Pranoto

Kepala Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia

BUMN harus fokus menjalankan core business-nya sehingga jika dijadikan dalam satu holding tentu akan lebih sehat. Juga tidak terbebani dengan persoalan yang tidak berkaitan dengan core business. Bila ada pembentukan holding baru, tidak harus berdasarkan sektoral, bisa juga berbasis value chain.

Secara konsep yang dimaksud subholding sebetulnya adalah semacam sectoral holding yang memang sudah dibentuk di era sebelumnya. Maksudnya, Menteri Erick Thohir mungkin perlu melakukan konsolidasi terlebih dulu di level subholding (sectoral holding) supaya betul-betul menjadi kuat sehingga dapat memberikan value creation besar. Setelah beberapa subholding ini bisa bertumbuh besar dan mempunyai daya saing di level regional  maupun global, baru kemudian langkah pembentukan superholding seperti Temasek atau Khazanah bisa direalisasikan. Jadi, secara konsep superholding adalah induk dari beberapa subholding (sectoral holding) yang sudah ada.

Intinya dari subholding (sectoral holding)  yang sekarang sudah ada, Kementerian BUMN  perlu melakukan evaluasi terhadap efektivitas kinerjanya. Perlu  juga dilakukan langkah-langkah perbaikan dan terobosan untuk meningkatkan kinerjanya. Bahkan, Kementerian BUMN bisa juga membentuk subholding lain yang basisnya adalah keterkaitan dalam value chain. Misal dengan membangun subholding logistik, sebagai anggotanya bisa BUMN sektor pos, pergudangan, pelabuhan, airlines dan beberapa BUMN lain yang mempunyai keterkaitan dengan value chain di bidang  logistik. Jadi bila ada holding baru yang hendak dibentuk, tidak harus berdasarkan sektoral, bisa juga berbasis value chain.

Banyak orang juga salah memahami, seolah konsep superholding akan dihentikan. Padahal ketika Erick Thohir mengatakan, akan membentuk subholding, sebetulnya yang akan ia lakukan adalah melakukan konsolidasi terhadap beberapa sektoral holding (sub holding) yang selama ini sudah ada. Kondisi sekarang, belum semua subholding dalam kondisi yang oke. Contoh, kinerja holding perkebunan atau PTPN yang masih negatif. Bila BUMN yang merugi seperti ini langsung masuk ke dalam subholding, tentu ketika dibentuk superholding di atasnya akan menimbulkan masalah.

Tentu langkah pertama yang bisa dilakukan Menteri BUMN adalah melakukan konsolidasi terlebih dahulu di level subholding. Setelah subholding tersebut betul-betul sehat dan bisa bersaing, bila ada BUMN yang hendak going global, lebih bisa direalisisasikan. Dalam pemahaman saya, terkait pembentukan subholding adalah  Kementerian BUMN melakukan konsolidasi terhadap beberapa holding yang sudah ada agar bentul-betul mempunyai daya saing. Pasalnya masih ada holding yang kinerjanya bermasalah, di antaranya holding sektor perkebunan.

Kementerian BUMN juga harus melihat holding yang baru dibentuk seperti  holding Inalum, atau Pertamina dengan Pegas, sudah berjalan baik atau belum. Bila belum, perlu dicarikan model-model subholding terbaik agar subholding tersebut benar-benar konkret. Bila semua holding di bawahnya sudah berkinerja oke, ketika dibentuk superholding di atasnya tentu tidak terlalu sulit.

Terkait keinginan Erick Thohir agar Kementerian BUMN dapat mengelola, melakukan merger atau mengakuisisi BUMN dan anak usaha BUMN dapat dipahami karena dari 124 BUMN terdapat sekitar 700 anak usaha BUMN, sebagian besar merugi. Kerugian anak usaha BUMN karena beberapa hal. Pertama, bisnis anak usaha BUMN tersebut tidak mendukung (tidak related) dengan core business induk perusahaan sehingga tidak ada sinergi anak perusahaan BUMN dengan induk perusahaan.  

Anak usaha PT Krakatau Steel, misalnya, ada 60 perusahaan, yang bisnisnya  related dengan induk perusahaan mungkin hanya sepetiga, sisanya tidak related dengan core business induk perusahaan. Itu yang hendak dibenahi Menteri Erick Thohir sehingga pada akhirnya bisnis anak perusahaan harus menunjang bisnis inti perusahaan induk. Jangan terlalu jauh.

Kritik saya, sekarang banyak BUMN yang mempunyai  bisnis  properti. Pegadaian,  misalnya, punyai bisnis property. BUMN Karya juga punya bisnis properti. Begitu pula banyak BUMN memiliki hotel dan resort padahal di BUMN ada PT Inna Hotel Group yang jelas core business-nya adalah perhotelan. Jadi, konteksnya adalah mengembalikan agar bisnis anak perusahaan related dengan core business BUMN induk sehingga terjadi sinergi supayavalue induk perusahaan juga bisa meningkat.

Kondisi BUMN sekarang masih pareto. Di mana terdapat 25 BUMN teratas yang menguasai sekitar 90 persen dari penjualan total (total sales) seluruh BUMN. Jadi  jumlah BUMN banyak, namun sebagian besar tidak produktif dan tidak efisien, bahkan sebagian sudah merugi. Kondisi ini membutuhkan alternatif solusi perbaikan. Di antaranya dengan  pembentukan beberapa subholding (sectoral holding). Intinya, value dari subholding harus lebih besar dari hitungan BUMN kalau mereka berdiri sendiri (stand alone).

Contoh, ada empat  BUMN di bawah holding Inalum. Nilai holding Inalum harus sama dengan 6 atau 8, bukan 4. Kalau sama dengan 4 artinya hanya membuang  waktu saja. Apalagi sama dengan 3, hal itu artinya value destroyed.

Karena sekarang sudah ada beberapa sectoral holding  dan kita tidak bisa bergerak mundur. Yang perlu dilakukan adalah melakukan konsolidasi holding tersebut agar benar-benar kuat sehingga bisa menciptakan value lebih besar.  Bila di antara mereka belum ada sinergi, harus dapat membangun sinergi. 

Jadi,  persoalan superholding dan subholding cukup clear. Tahapan di era Erick Thohir saat ini adalah melakukan konsolidasi di level subholding (sectoral holding ) supaya performance –nya lebih bagus. Setelah itu baru dipikirkan masuk ke level di atasnya yaitu membuat superholding.

Dalam situasi sekarang, pembentukan sektoral (subholding) BUMN di industri perbankan menjadi prioritas. Pasalnya, tahun 2020 kita masuk era Qualified ASEAN Bank (QAB). Artinya, Bank Mandiri bisa membuka cabang sebagai fully branch di Singapura atau di Malaysia tanpa hambatan regulasi, bila Bank Mandiri sudah memenuhi syarat  sebagai QAB. Persyaratan QAB misalnya terkait dengan kecukupan  modal, compliance terhadap aspek risk management, Basel Accord  II dan lain-lain. Jadi tahap ini juga sudah cukup rumit.

Secara resiprokal, nanti bank ASEAN lainnya seperti DBS, UOB, CIMB dan sebagainya juga bisa beroperasi di Indonesia sebagai fully branch bank. Isu yang menarik, apakah bank-bank anggota Himpunan Bank Negara (Himbara) yakni BRI, Bank Mandiri, BNI da BTN mampu bersaing melawan mereka? Perlu dicatat angka net interest margin (NIM) bank-bank Himbara paling tinggi di antara bank-bank di Singapura dan Malaysia. Ini merefleksikan daya saing. Kalau DBS mempunyai NIM hanya 1,5 persen sementara rata-rata bank Himbara di atas 4 persen, apakah bank kita masih bisa bersaing?

Dalam konteks subholding perbankan, ini diharapkan terjadi dan menumbuhkan  value creation  sehingga bank-bank BUMN tersebut juga bisa bersaing melawan kompetitor di ASEAN.

Terkait leadership di BUMN, saya lihat memang bukan perkara mudah. Tapi proses seleksi lewat assessment centre  adalah terobosan yang sudah cukup baik. Kita bisa mendapatkan best candidate baik dari internal BUMN maupun eksternal BUMN.  Kompetensi merupakan hal penting dan harus ditonjolkan dari calon pemimpin BUMN. Ke depan dalam era disruption dan VUCA ini yang penting adalah kemampuan global business savvy, visionary leadership , innovative , change management , serta last but not least mempunyai  integritas (akhlak).

Artikel Terkait

Back to top button