KOLOM PAKAR

Penting Menata Arsitektur Hilirisasi Perikanan

Oleh: Siswanto Rusdi

Direktur The National Maritime Institute

Program hilirisasi sektor perikanan yang dicanangkan pemerintah tidak berjalan maksimal. Hal tersebut sudah terlihat pada kebijakan sektor perikanan sejak zaman Presiden Soeharto hingga Presiden Joko Widodo.  Kalaupun pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendirikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ketika itu lebih berorientasi pada nonteknis. Lebih untuk menyadarkan kita, pentingnya mengelola potensi kelautan dan perikanan domestik secara lebih serius. Pemerintah dan stakeholder perlu menata kembali arsitektur hilirisasi perikanan nasional.

Untuk itu, penataan arsitektur hilirisasi perikanan nasional penting mengingat tidak pernah ada kebijakan perikanan, termasuk hilirisasi yang benar-benar menuntaskan permasalahan sektor perikanan. Terlebih mengangkat derajat hidup nelayan tradisional.

Pada era Presiden Megawati, Menteri Kelautan dan Perikanan ketika itu Rohmin Dahuri memperkenalkan Gerakan Pembangunan Nasional Kelautan dan Perikanan (Gerbang Mina Bahari). Hasilnya juga tidak maksimal. Ekspor perikanan tidak signifikan. Begitu pula zaman Presiden SBY, ekspor perikanan nasional tidak pula tumbuh signifikan. Tidak seperti negara pengekspor ikan seperit China, Taiwan dan Jepang. Produk perikanan mereka menguasai dunia.

Era Presiden Joko Widodo juga sama. Malah kebijakan Menteri KKP ketika masih dijabat Susi Pudjiastuti yakni mengebom dan menenggalamkan kapal laut justru menurunkan kemampuan ekspor perikanan nasional. Sampai sekarang pun belum pulih.

Sebagai negara kelautan, sejatinya industri perikanan kita tidak mendapat perhatian penuh pemerintah. Indikasinya, kalau melihat desa-desa nelayan, kehidupan mereka masih sangat miskin. Sama seperti petani. Masih banyak desa nelayan terbelakang dengan tingkat pendidikan masih rendah. Seharusnya bila usaha nelayan berhasil, kehidupan mereka akan sejahtera. Namun itu tidak terjadi.

Sampai hari ini, nelayan masih merupakan kelompok masyarakat yang sangat marjinal. Yang mudah dilihat, jumlah ekspor perikanan nasional tidak meningkat banyak. Ini bukti bahwa kebijakan perikanan nasional sejak zaman Presiden Soeharto hingga Joko Widodo, peningkatan ekspor perikanan tidak pernah siginifikan.

Hanya saja pada era Soeharto, harga pangan relatif stabil. Berbeda dengan nelayan sekarang, biaya hidup mereka makin tinggi. Sedangkan kemampuan mereka memperoleh pendapatan  tidak banyak meningkat. Kapal yang mereka pakai melaut merupakan kapal kecil sehingga pendapatan ikan juga sedikit.

Agar tercipta akselerasi hilirisasi sektor perikanan, bisakah Menterian Kelautan dan Perikanan meninggalkan legacy dengan menyediakan  kapal ikan besar berbendera Indonesia yang dikelola negara. Kita mempunyai BUMN PT Perikanan Indonesia yang bisa ditugasi untuk membeli dan mengelola kapal besar tersebut untuk membangun hiliriasi sektor perikanan. BUMN jangan hanya ditugasi membangun banyak jalan tol, tapi juga membangun daya saing sektor perikanan dan kelautan. Karena hal ini yang menjadi kelemahan industri perikanan nasional.  

Pengadaan kapal besar tersebut tidak terealisasi. Dananya ada tapi kebijakan tidak tajam karena pembacaan terhadap isu perikanan nasioal tidak mendalam. Salah satunya faktor yang membuat kebijakan tidak tajam lantaran masih kuatnya pengaruh para pemburu rente. Mereka tentu tidak ingin kepentingannya terusik. Akibatnya kebijakan perikanan nasional tidak pernah mampu menyelesaikan akar permasalahan.

Yang mudah dilihat di lapangan. Nelayan terbagi dua, nelayan buruh dan nelayan penguasaha. Porsi terbesar adalah nelayan buruh. Sama dengan petani kita, lebih banyak jumlah petani buruh dibanding petani pengusaha. Inilah potret kegagalan pemerintah mengangkat harkat petani dan nelayan. Banyak nelayan yang masih menjadi buruh dari para tekgkulak. Sebab sebelum berangkat melaut, mereka sudah mengijon beras dan mengijon dana untuk kebutuhan lain seperti   biaya sekolan anaknya selama mencari ikan di laut. Begitu nelayan pulang, ikan hasil tangkapan sudah diambil terlebih dulu oleh para tengkulak.

Kondisi tersebut menunjukan, program hirilisasi sektor perikanan yang bertujuan meningkatkan nilai tambah produk komoditas perikanan, belum berjalan. Ini karena akar persoalan nelayan tidak diselesaikan, namun sudah muncul kebijakan baru. Akar persoalan nelayan tetap sama, tetapi berganti pemerintahan berganti pula kebijakan. Terakhir adalah kebijkan perikanan terukur yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono.

Namun penerapan kebijakan tersebut ditunda lantaran dianggap kontroversial. Nelayan hendak dikenai pajak, tetapi kinerja nelayan masih minim. Mungkin bagi nelayan-nelayan besar tidak masalah dikenai pajak, tetapi bagi nelayan kecil jelas sangat memberatkan.

Misal, PT Perikanan Indonesia yang merupakan BUMN sektor perikanan. Meski melakukan ekspor ikan, tetapi jumlah ekspornya tidak signfikan. Kontribusinya terhadap perekonomian juga tidak besar. Atau perusahaan PT Samudra yang khusus mengelola pelabuhan  tangkap ikan. Kontribusinya devisa kepada pemerintah juga belum besar.

Salah satu penyebab adalah adalah aturan penanganan ikan yang bertele-tele. Akibatnya nilai jual hasil perikanan kita menjadi rendah. Lantaran ikan tidak lagi fresh. Contoh, ikan ditangkap di Laut Arafuru. Lalu dimasukan ke ruang pendingin, (refrigerator). Lalu berpindah lagi ke tempat lain. Terjadi beberapa perpindahan tempat sehingga menurunkan mutu ikan tangkapan. Maka yang terpenting, bagi ikan yang hendak diekspor, begitu ikan ditangkap di laut, langsung bisa dibawa ke luar negeri agar bisa bersaing dengan produk-produk dari negara lain.

Selain masih banyak pihak yang berkepentingan dengan mata rantai berpindahan ikan hasil tangkapan tersebut, pelabuhan-pelabuan juga tidak memiliki armada kapal pengangkut ikan yang besar. Ini permasalahan lama sebenarnya yang tidak kunjung dituntaskan. Ikan tangkapan di laut dibawa ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) menggunakan kapal-kapal kecil. Lalu ada proses pencatatan, penimbangan dan proses lain yang tujuannya bagus, untuk mengontrol. Namun yang terjadi adalah double handling sehingga biaya menjadi tinggi. Ini jelas berpengaruh terhadap daya saing produk perikanan kita.

Idealnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan mampu membeli sejumlah armada kapal besar pengangkut ikan. Tidak sulit bagi pemerintah menyediakan kapal ikan sebesar kapal-kapal milik PT PELNI sehingga di dalamnya bsia dibuat pabrik pengolahan ikan agar bisa langsung dibawa ke negara tujuan ekspor. Dana ada namun anggaranya tidak difokuskan untuk itu.  

Penganbilan keputusan para pejabat sektor perikanan masih bersifat business as ususal. Mereka melihat kondisi yang ada di lapangan dan tinggal menjalani. Tidak ada upaya melakukan perubahan atau terobosan. Padahal bisa saja satu kapal besar di tempat pada wilayah-wilayah yang merupakan sentral penangkapan ikan laut sehingga ikan langsung diproses dan dibawa ke pasar global dalam kondisi ikan masih segar.  

Artikel Terkait

Back to top button